Langsung ke konten utama

Resensi Novel Cinta dalam Semangkuk Sop Kaki Kambing


Judul buku      : Cinta dalam Semangkuk Sop Kaki Kambing
Penulis             : Iva Afianty
Penerbit           : Indiva
Tahun terbit    : Oktober 2016
Jumlah halaman: 176 halaman
ISBN               : 978-602-6334-03-9


 Antara Cinta Segitiga dan Pilihan untuk Menjadi Berbeda

            Kisah cinta segitiga merupakan kisah klasik yang tetap saja menarik untuk diangkat dalam sebuah novel. Adalah Stephanie si Putri Ketimun, Awy Sang Pangeran Naga, dan Gandhi si jejaka nerdy yang terlibat dalam pusaran cinta segitiga. Tiga personil yang kesemuanya gandrung dengan kuliner khas Betawi: sop kaki kambing dan kesemuanya pecinta game Dragon City.
            Stephanie, gadis cantik nan langsing meski porsi makannya banyak ini, penyuka es ketimun. Meski physically perfect, ia agak sial dalam hal asmara. Sudah puluhan kali ia patah hati. Terakhir kali, ada seseorang dari masa lalu yang benar-benar membekaskan luka dalam hatinya sehingga membuatnya sangat hati-hati dalam memilih pasangan hidup.
            Awy, si blasteran Arab-Betawi yang hendak menjodohkan Stephanie dan Gandhi, si pemilik resto sop kaki kambing legendaris itu, tetapi Awy malah berputar haluan. Hatinya menaruh rasa terhadap Stephanie dan sempat keceplosan mengutarakan isi hatinya pada gadis itu. Stephanie juga mengakui rasa nyamannya saat bersama Awy namun tak ada kemajuan apapun dalam hubungan mereka alias hanya jalan di tempat.
            Setelah pertemuan tak sengaja dengan Gandhi, Stephanie merasakan ada yang tak beres dengan hatinya, begitu pula Gandhi. Diam-diam mereka saling menyimpan rasa.
            “Masalahnya mungkin tak akan rusuh begini jika dia bukan orang yang sama yang dijatuhi cinta oleh si Pangeran Naga. Dan barusan aku menyarankan si Pangeran Naga untuk langsung melamarnya. Kalau dia menolak sih bagus, berarti ada kesempatan bagiku. Nah, kalau dia menerima?” (hal 72)
            Masalah makin pelik saat orangtua Stephanie membujuknya agar segera menikah sebab ibunya yang tengah sakit stroke ingin melihatnya bahagia. Namun, Stepahanie sendiri merasa belum siap menikah dengan Awy. “Aku hanya mau jadi Pocahontas, bukan Cinderella yang begitu ingin memikat sang Prince Charming demi merubah hidupnya. Aku punya hidup sendiri. Aku adalah Pocahontas yang memilih memperjuangkan kebahagiannya sebelum bertemu dengan seseorang yang benar-benar the one baginya.” (hal 65)
            Sementara ayah Awy juga menolak jika Awy nekat akan melamar Stephanie sebab alasan klasik: akan ada perjodohan. Namun sebenarnya ada alasan mendasar yang jawabannya terdapat di bab akhir novel ini.
            Novel bergenre romantic comedy ini tak hanya menghibur tetapi juga memberikan pencerahan tentang bagaimana seseorang bertahan dalam tekanan dan mampu menata hati dalam situasi sulit. Dituturkan dengan bahasa yang  renyah, segar, easy-reading, dan bahasa gaul kekinian yang membuat pembaca tak bosan mengurai lembar demi lembar babnya. Penulis juga memberikan ‘kejutan’ dengan cerita flashbacknya ke masa-masa perjuangan sehingga alur cerita tidak klise. Meski nasib sang tokoh seperti masih menggantung, novel ini khas dan mempunyai daya tarik tersendiri, terutama di bagian ending. Dari jalinan bab-nya, pembaca bisa memetik hikmah dan sampai pada kesimpulan bahwa tak mudah untuk menjadi berbeda. Meski begitu, adalah hak setiap manusia untuk memilih dan berbahagia atas pilihannya. Bukankah hidup adalah pilihan?
Selamat membaca!

Diresensi oleh Arinda Shafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti