Langsung ke konten utama

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga



Assalamu’alaikum, kawans
Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak.

Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means selesainya jam set 12 malam. Untungnya sabtu sekolah anak libur. Jarak bioskop sampai rumah nggak bisa dikatakan dekat.
 
Bhaiqlah saya sudahi prolog yang sepanjang coki coki ini. Hihi.

Cerita berawal dari sebuah keluarga yang harmonis dan berkecukupan di ibukota. Keluarga itu terdiri dari empat anggota yaitu Abah, emak, Euis, dan Ara. Abah bekerja sama dengan iparnya dalam proyek property. Namun, keganjilan demi keganjilan semakin terlihat bahwa iparnya itu telah menyelewengkan dana. Ketidakamanahan sang ipar berimbas pada demonstrasi para karyawan yang tidak menerima hak-haknya. Mereka menyambangi kantor Abah dan berdemo di sana. Saat itu Euis, si sulung sedang merayakan ulang tahun di rumah bersama teman-temannya, ketika abah yang ditunggu-tunggu tak jua menampakkan batang hidung. Tiba-tiba sekawanan orang datang dan membubarkan pesta sederhana yang sedang berlangsung. Mereka adalah pihak yang merasa dirugikan oleh abah dan iparnya. Mereka mengusir dan menyegel rumah abah. Sang ipar—kakak emak juga berada di situ dengan wajah lebam penuh rasa bersalah.

Dengan langkah lunglai, abah, emak dan anak-anaknya mengemasi barang bawaannya menuju ke kantor abah sebagai tempat tinggal sementara. Abah memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan tinggal di rumah tua peninggalan aki di Bogor.

Sebelum meninggalkan Jakarta, abah pamit kepada para karyawannya dan memberi uang pesangon. Dengan kepedihan membayang di pelupuk mata, abah dan keluarganya meninggalkan ibukota dengan mobil sewaan, menuju sebuah kampung yang sejuk dan asri, jauh dari hingar bingar. Di sanalah rumah aki berada.

Seumpama perputaran roda, hidup abah dan keluarganya berubah 180 derajat. Dari rumah bagus berperabot lengkap menjelma rumah tua yang sangat sederhana. Mobil pribadi pun sudah tak punya. Abah, emak, Euis, dan Ara mau tak mau harus beradaptasi dengan gaya hidup baru dan tentu saja lingkungan yang baru. Beruntung mereka dikellilingi para tetangga yang baik dan siap membantu apa saja dengan tulus.

Sebagai kepala keluarga, abah tak bisa tinggal diam. Dia bergerak untuk melamar kerja kesana kemari namun tak membuahkan hasil. Para perusahaan itu hanya menerima karyawan muda yang belum menikah. Abah tak menyerah. Dengan bantuan tetangganya, abah menjadi kuli bangunan. Namun, nasib nahas menimpa abah. Kecelakaan kerja membuat kakinya cedera dan harus berjalan menggunakan kruk.
Emak megambil alih dengan menggoreng opak. Opak tersebut dibawa Euis untuk dijajakan di sekolah.
Pada awalnya Euis sangat malu membawa dagangan ke sekolah, namun teman-temannya seperti Ima, Rindu, Deni dan Andi selalu mendukung dan membantu Euis dalam beradaptasi dengan sekolah barunya.

Abah baru sembuh dari cidera kakinya dan bekerja sebagai tukang ojek online, saat berbagai ‘kejutan’ menghampiri yaitu kehamilan Emak, juga Euis yang mengalami menstruasi. Sebagai anak ABG, emosi Euis kian labil. Abah mulai kewalahan menghadapi Euis yang membuat masalah di sekolah seperti menonton youtube saat pelajaran berlangsung dan memotong rambutnya hingga pendek tak beraturan. Puncaknya, saat abah melarang Euis ke kota demi bertemu teman-teman lamanya di kota Bogor, Euis tak mengindahkannya. Dengan nekat, dia pergi dan pulang sampai malam. Rentetan pelanggaran Euis membuat abah dipanggil untuk menemui guru BK di sekolah.

Abah yang dulu tabah dan hampir tidak pernah marah, menjadi emosional. Dia merasa sebagai kepala keluarga yang gagal dan terus menyalahkan diri sendiri. Ara yang masih SD mengatakan bahwa dia tidak suka abah yang selalu memarahi kakaknya. Abah juga tak sepakat dengan sikap emak yang menurutnya selalu membela Euis.

DI tengah kebuntuan akan masalah yang bertubi, Abahpun mulai berpikir bahwa mereka tak cocok tinggal di desa. Abah berniat membeli rumah di Jakarta dengan cara menjual rumah warisan aki itu. Kebetulan ada Ceu Salma, tetangga mereka yang memiliki kenalan dengan Tante Pressier. Tante Pressier dan suaminya telah melihat lokasi dan merasa cocok hingga memutuskan untuk membeli rumah itu. transaksi jual beli telah dilakukan, namun Euis dan Ara mendadak merebut sertifikat rumah. Mereka tak mau jika rumah itu dijual. Abah semakin marah karena anak-anak bersikap tidak sopan di depan tamu. Euis kembali menangis, Ara dan emak juga. Mereka bertiga memeluk abah dan bertangisan dalam diam.

Film diakhiri dengan happy ending. Emak melahirkan dengan selamat. Kebekuan antara abah dan Euis mencair tatkala abah menghadiahi Euis sepotong kue di ulangtahunnya ke-14. Melalui negoisasi alot dengan Tante  Pressier yang dibantu  Ceu Salma, akhirnya  rumah aki  tetap menjadi hak Abah  dan keluarganya. Ara pentas sekolahnya dengan sukses memerankan sebuah pohon cemara.

Film besutan sutradara Yandy Laurens ini terinspirasi dari serial televisi legendaris di tahun 90an karya Arswendo Atmowiloto. Dalam sebuah wawancara di koran Tempo, Yandy membeberkan alasan terciptanya ide menggarap film ini karena masyarakat membutuhkan tontotan keluarga sebab keluarga memberikan energi untuk menjalani hidup, apalagi jika keluarganya masih utuh. Dengan mengusung hastag #KembaliKeKeluarga, terselip pesan bahwa apapun yang terjadi di luar sana, keluarga akan selalu ada, menunggumu pulang dan berbagi kehangatan. Bagaimanapun keadaannya, keluarga adalah tempat ternyaman untuk pulang, memberi energi baru untuk merajut hari-hari selanjutnya.

Ada satu adegan yang tak terlupa adalah saat emak bilang “kami tidak pernah menyalahkan abah. Sekalipun.”
Lalu Euis menimpali “iya kami memang tanggung jawab abah semuanya, lalu abah tanggung jawab siapa?” lali mereka melebur dalam pelukan dan tangisan.

Saya suka detil-detil dalam tiap perpindahan adegan seperti embun yang menempel pada ilalang, batu-batu di rel kereta api, tali ayunan yang bergoyang, dan perabotan zaman dulu. Penggambaran setting sudah oke banget. Membuat saya jadi mupeng pengen main ke rumah aki.

Diproduseri oleh Anggia Kharisma dan Gina S. Noer, film Keluarga Cemara ini sukses mambuat penonton terharu, tertawa, dan menangis. Mengangkat konflik intern keluarga membuat film ini dekat dengan keseharian dan Indonesia banget. Karakter dalam film ini begitu cocok. Ringgo Agus sangat pas memerankan karakter Abah yang sabar, pekerja keras dan hangat. Nirina Zubir juga mewakili karakter emak yang tegar, penyayang, dan pantang menyerah. Ada Zara JKT 48 yang aktingnya mantap sebagai Euis. Widuri Puteri sebagai pendatang baru juga bisa memerankan karakter Ara yang lucu, polos, dan menggemaskan. Film ini juga diramaikan oleh Asri Welas yang aktingnya mengocok perut, Maudy Koesnaedi, Gading Marten, Ariyo Wahab, Widi Mulia, dan masih banyak lagi.

Selama nonton film ini, saya mencuri-curi pandang ke arah anak-anak. Melihat ekspresi mereka saat adegan yang membuat terharu atau bersedih. Meski duduk manis selama hampir 2 jam, mereka tenang menyimak bahkan sampai nggak ngantuk. Saat perjalanan pulang, saya melakukan semacam follow up setelah nonton. Mereka jadi paham bahwa keluarga itu penting. Keluarga itu berarti. Bahkan adiknya membuat pengakuan ‘aku tadi mau nangis, tapi tak tahan’. Hihi antara geli dan haru saya dengerinnya.

It’s not how big the house is
It’s how happy the home is (anonymous)

Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga

Mari kita #KembaliKeKeluarga



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti