Langsung ke konten utama

Review Novel Sunset & Rosie karya Tere Liye


sumber : www.goodreads.com

            Bagi seorang aku—Tegar Karang, tak ada yang paling membahagiakan dirinya selain menatap empat kuntum bunga itu: Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Mereka adalah buah cinta Rosie dan Nathan yang begitu cantik, cerdas, membanggakan dengan beragam karakter dan celotehnya. Seperti senja itu, Tegar menatap kebahagiaan keluarga yang tengah merayakan 13 tahun pernikahan di pantai Jimbaran Bali, via layar tele-conference. Sepasang matanya lekat mengamati detail layar ketika anak-anak itu hendak menyerahkan mawar biru untuk ayah dan ibu mereka, tatkala sebuah bom meledak. Memporak-porandakan semuanya, termasuk masa depannya.
            Begitu berarti Rosie bagi Tegar. Mereka adalah tetangga, teman kecil yang terus bersama hingga remaja dan beranjak dewasa. Melewati sekian ribu hari, senja, dan purnama. Saling mengerti karakter masing-masing. Menciptakan kebersamaan kala mendaki gunung Rinjani dan merasakan sejuknya air danau Segara Anakan. Begitu indah dan terjaga perasaan yang berkecambah di hati Tegar, dengan sepotong rencana manis di benak. Namun, sejak dua bulan lalu Tegar mengenalkan Nathan pada Rosie, kesempatan itu pupus sudah. Rosie sempurna milik Nathan. Tak ada lagi kesempatan itu menghampirinya meski sekali.
            Tegar memutuskan pergi. Terpuruk selama lima tahun dalam siksaan yang mendera dalam malam-malam panjang. Energinya ia gunakan untuk menggila dalam kerja keras di ibukota untuk melupakan rasa sakit. Hingga lima tahun kemudian, tiba-tiba Rosie dan Nathan muncul di apartemen Tegar membawa Anggrek dan Sakura—buah cinta mereka. Tegar memang takkan berhasil melupakan namun ia berhasil berdamai serta menemukan definisi cinta yang berbeda. Lagipula sudah ada Sekar, gadis cantik yang mulai mencuri hatinya dua tahun terakhir ini. Mereka akan bertunangan kemudian menikah 6 bulan kemudian. Begitulah skenarionya.
            Tragedi bom Jimbaran membuat Tegar kalang kabut. Jauh-jauh dari Jakarta ke Bali, mengurus semuanya—termasuk jenazah Nathan—hingga lupa pada hari pertunangannya dengan Sekar. Dengan penuh penyesalan, Tegar menunda hari pertunangan sampai keadaan normal dan terkendali. Namun, sekembali ke Gili Trawangan—tempat Rosie dan anak-anaknya tinggal—Rosie mengalami depresi akibat kehilangan suami. Ia harus dirawat di shelter sampai sembuh. Tegar, dengan segenap cintanya pada empat bunga Rosie itu, menjadi sosok ayah dan ibu ‘sementara’ bagi mereka sekaligus mengurus resor di Gili Trawangan—bisnis keluarga Rosie. Gemilangnya karier di Jakarta ia tinggalkan, bahkan ia merasa tak memiliki janji dengan Sekar.
            Dua tahun berselang, saat Rosie dinyatakan sembuh, Tegar dihadapkan pada pilihan sulit. Kesempatan itu menghampirinya lagi, dan nyaris tanpa penghalang. Anak-anak pun sudah memiliki keterikatan dengannya. Namun oma mengingatkan bahwa Tegar memiliki janji kehidupan dengan Sekar yang sudah bertahun menunggu. Oma, sang saksi kunci yang mengetahui detil seluk beluk kisah lalu mereka, selalu menggumakan kalimat itu berulang-ulang: Sekuntum mawar takkan pernah tumbuh di tegarnya karang.
            Tegar telah membuat keputusan penting dalam hidupnya: menikah dengan Sekar. Meninggalkan Gili Trawangan, Rosie, dan anak-anaknya yang terluka. Berusaha menepati janji, meski hancur hatinya menemukan tatapan sendu Rosie yang nyatanya menyimpan cinta—sejak masa remaja mereka.
            Kesempatan dan takdir, akankah mampu bersanding?
            Membaca novel Tere Liye ini, membuat hati tersayat perih dan sesak sampai ke ulu hati. Tema cinta yang disandingkan dengan pengorbanan dan ketulusan. Keduanya yang merupakan ‘turunan’ cinta itu sendiri yang bermetamorfosis menjadi bentuk yang berbeda yang dimaksud penulis. Itu pendapat saya pribadi. Sebab kekuatan cinta adalah menggerakkan, selalu ingin memberi, mempersembahkan yang terbaik. Seperti Tegar yang menyayangi anak-anak itu seperti menyayangi anaknya sendiri. Mirip tokoh lugu Sabari yang menyayangi Zorro melebihi apapun di dunia ini—dalam novel ‘Ayah’-nya Andrea Hirata.
            Setting terbangun dengan apik. Rol-rol film imajiner berkelebatan dalam benak saya, begitu detil dan nyata meski belum pernah sekalipun menjejakkan kaki ke sana. Saya seolah bisa menyaksikan eksotisnya Gili Trawangan, melihat penyu menari di palung Gili Meno. Merasakan nyamannya resor, suara deburan ombak, denting hujan di atap, nyala lampion yang berpendar indah, pasir pantai yang lembut menyentuh telapak kaki, juga senja yang membungkus hari, merambat di kaki horizon. Ah, adakah nama lain untuk keindahan itu?
            Membaca dua hari, dua malam novel tebal ini, hingga mata perih. Rasa penasaran harus dituntaskan hingga ending. Ending yang menurut saya tak tertebak, melegakan tapi juga menyesakkan hati. Serba salah memang. Namun dari novel ini, terserak hikmah berharga, tentang cinta, kesempatan, dan takdir.



Komentar

gaetannehaasch mengatakan…
microtouch solo titanium - Tatanium Arts
Позарино годи Позаринно мипиваланове iron titanium выем, infiniti pro rainbow titanium flat iron Нпцод titanium wedding band форо iron titanium token аданные перски. titanium mens ring

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti

Puisi-Puisi Arinda Shafa

Puisi-Puisi Arinda Shafa Puisi Perpisahan dari siswa untuk guru Janjiku Pada Bunda Guru Tiga tahun lalu, aku terpaku Termangu-mangu Terperangkap di kelas asing, teman-teman baru, Dan ruang gedung yang bisu Melongok-longok dengan beribu ingin tahu Pada sosok guru berkemeja dua saku Oh! Langkahmu tegap tanggalkan ragu Senyummu cerah, rekah, merona-rona Serupa rumpun-rumpun tetaman bunga Beruntai-untai ilmu menyeruak ke segala penjuru Peradaban tegak di pundak punggungmu Kami berkelana,tersesat di tempat-tempat jauh Imajinasi, inspirasi, buncah bergemuruh Keseriusan, ditingkah canda nan gaduh Namun, waktu meniup bulir-bulir kenangan Serupa kuncup-kuncup benangsari dihembus angin siang hari Dedaun luruh, hempas menyedihkan di atas lapangan upacara Di sana, ribuan kisah terangkai tercipta Seelok kilau mutiara raja brana Wahai guruku, sang penggubah peradaban Kan kutampatkan kata-katamu di atas nampan pualam Teguh janjilah sudah, b