Langsung ke konten utama

Sepasang Baju Pengantin



Akhir tahun 2013 kala itu, saat kami baru saja pindah kontrakan. Kontrakan kedua yang jauh lebih layak, setidaknya. Shafiyya dan Syafiq yang masih kecil itu penguatku. Selalu. Kutemukan harapan pada mata bulat mereka yang bergemintang, pada celoteh mereka yang menyemarakkan rumah. Menyadarkan emaknya yang rapuh ini, untuk tersenyum dalam tegar. Bahwa sesulit apapun keadaan, tak ada alasan untuk menyerah.
Malam melarut. Abang dan anak-anak tertidur kelelahan, sementara anganku masih mengembara. Keuangan kami minus. Kami baru kehilangan motor satu-satunya untuk mobilitas. Setelah berbulan-bulan mencoba bertahan, usaha suami akhirnya gulung tikar. Sudah kehilangan pekerjaan, masih ditambah lilitan hutang yang tak sedikit jumlahnya. Dan sebentar lagi, Shafiyya akan masuk TK. Allah, dana dari mana?
Air mataku mengalir. Dalam hening, aku terisak-isak. Jika keputusasaan bukanlah tanda tersisanya sejumput iman, mungkin aku memilih takluk.
Kulihat rumah-rumah tetanggaku, keluarga muda zaman sekarang. Pengantin baru atau anak baru satu sudah punya rumah dan kendaraan menghuni garasi. Adapula rumah yang sedang direnovasi. Sedang keluargaku masih berkutat pada bagaiamana bisa makan esok hari. Kami serupa laba-laba yang harus merajut kembali sarangnya yang rusak parah. Kami berusaha bangkit dari kejatuhan paling menyakitkan dalam episode kehidupan. Kami serupa manusia yang dikucilkan dari dunia. Bersyukur, kami masih saling memiliki dan menguatkan. Masih banyak keluarga lain yang cobaannya jauh lebih berat daripada kami.
Aku pun berbaur dengan warga. Aku dilanda rasa minder yang teramat sangat. Aku lupa pernah kuliah di kampus ternama dan bergelar sarjana. Aku lupa pernah menjadi guru penuh semangat yang dicintai murid-muridnya. Aku hanya melihat diriku, tanpa kebanggan apapun.
Di tengah kesibukan beres-beres, kutemukan buku tentang membeli kesulitan dengan sedekah. Sedekah terbaik. Tapi kami punya apa? hanya televisi jadul warisan orangtua, kasur busa yang busanya mulai lepek dan rontok, serta cincin mas kawin yang masih kusimpan. Aku tak mungkin menggadaikannya, karena itu tanda cinta dari suami. Kubuka lemari, mencari-cari kiranya apa yang pantas untuk disedekahkan.
Kutemukan sebuah gaun pengantin warna putih tulang dan setelan jas dengan warna senada. Keduanya dalam keadaan terlipat. Kuhamparkan gaun itu di atas kasur dengan jantung yang berdegup-degup. Gaun pengantin brokat yang sederhana tapi indah. Hanya ada aplikasi renda emas, pita, dan bordir bunga di bagian bawah gaun. Setelan jas itu juga simpel. Hanya berhias bordir emas di bagian dada dan leher, lengkap dengan celana panjang dan peci. Itulah harta kami, kenangan kami yang menjadi saksi ijab qobul suci, empat tahun lalu. Aku ingat, betapa bahagianya ketika aku mengenakannya kali pertama, dengan wajah bersemu dadu. Dan abang-pun tampak gagah, meski gugup dan salah tingkah.
“Bismillah ya Bang. Ridho kan?” tanyaku sembari mendekap gaun itu di dada.
Abang tercenung. “Aku ikut apapun keputusanmu.”
“Setidaknya kalau aku rindu, aku bisa membuka album foto pernikahan kita,” ucapku dalam rangka menghibur diri. “Atau memutar rekaman videonya.”

sumber gambar: google

Kuambil paper bag, lalu kumasukkan lipatan gaun dan jas itu ke dalamnya. Aku ingat nasihat seorang ustadz, bahwa apapun di dunia ini adalah titipan. Semuanya tanpa terkecuali. Dan hari ini, titipan ini akan kukembalikan lagi pada-Nya.
Abang menatapku tanpa ekspresi. Tapi kutahu, dia ingin menangkap kesungguhanku.
“Bukankah adik pernah bilang kalau ini akan diwariskan untuk Shafiyya?”
Aku menghitung. Masih belasan tahun lagi jika Allah izinkan Shafiyya panjang umur dan orangtuanya ini melepasnya menempuh hidup baru. Dan selama itu pula, menyimpan benda yang tidak dipakai adalah sia-sia. Konon, ada hisabnya juga.
“Biar pakaian kita ini dipakai sama akhwat dan ikhwan lain yang mau menikah. Bukankah lebih bermanfaat?” tanyaku retoris.
Abang mengacak rambutku, haru dan bahagia. Langkahku ringan menyusuri paving blok yang berkelok. Tali paper bag mantap kugenggam, dengan sejuta harapan. Ada bahagia yang menelusup diam-diam. Kulihat rerimbun perdu, alang-alang, dan deretan pohon kapuk yang menaungi jalan kanan kiri. Kupu-kupu menari, ditingkah gemuwang kumbang, lebah, dan serangga-serangga kecil yang bersuka cita. Mereka bahagia karena berbagi kemanfaatan dengan semesta.
Satu gang lagi, langkahku tiba di rumah seorang ustadzah. Kan kutitipkan sepasang baju pengantin ini padanya. Setiap helai dan rajut benangnya, setiap untai pitanya, setiap jejak sulaman bordirnya, insyaa Allah sebanyak itulah pahalanya. Kuputihkan niatan agar pakaian itu membawa manfaat dan keberkahan untuk siapapun mempelai yang memakainya nanti. Aamiin.
Sejak saat itu hingga sekarang, keluarga kami bahagia. Mungkin berkah doa-doa yang dilangitkan para mempelai itu, kepada kami sekeluarga.
(kisah saudara berinisial AP)

di zaman digital seperti saat ini, berdonasi semakin mudah via donasi dompet dhuafa. ayo sukseskan gerakan #JanganTakutBerbagi #SayaBerbagiSayaBahagia
 
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti