Langsung ke konten utama

Pengalaman Pertama Mendaki Gunung Andong Bersama Anak-Anak

Bismillahirrahmanirrahim

Apa kabar teman-teman semuanya? Semoga selalu dalam keadaan sehat ya.

Di postingan ini saya mau sharing nih tentang pengalaman kami membawa dan anak-anak mendaki gunung Andong.
Ini memang pengalaman pertama kami mendaki gunung. Sengaja kami memilih gunung Andong karena treknya yang mudah dan ramah anak jadi cocok untuk pendaki pemula. Ketinggiannya pun cuma 1726 mdpl dan kata Pak suami yang udah tektok beberapa pekan sebelumnya, view dari puncak Andong itu tak kalah keren dari gunung-gunung yang lain. 

Sebenarnya wacana untuk mendaki gunung ini sudah lama yaitu sejak tahun 2019. Saat itu si kecil Sayyida baru berumur dua setengah tahun. Sebelum pandemi covid, kami sekeluarga sempat mencoba camping di  mawar camp Ungaran. Jadi sedikit punya gambaran tidur dalam tenda, merasakan dinginnya kabut dan hujan, memasak di alam terbuka, dan melihat keindahan sunrise.
Kini Sayyida sudah berusia 5,5 tahun. Insyaa Allah udah okelah kalau kami ajak mencoba naik gunung. 

Beberapa pekan sebelumnya, anak-anak sudah di-sounding bahwa kita akan naik gunung jadi perlu latihan fisik. Mereka semangat dong. Mereka sering jalan pagi.  Kami juga memberikan gambaran keadaan disana termasuk kalau mereka mau pis dan p*p dengan keterbatasan air.
So, hari Sabtu tanggal 30 Juli 2022 kami bersembilan berangkat dari Semarang sekitar pukul 10.00. Kami terdiri dari 5 orang dewasa dan 4 anak-anak. Bawaan kami 5 carrier yang berat dan beberapa tas kecil untuk dibawa anak anak. Karena mau camping di puncak, kami membawa banyak logistik, air masing2 sekitar 2 liter, nesting, tenda, sleeping bag, jaket, baju ganti, sandal jepit, mantel, matras, obat obatan, dll.

Kami menempuh perjalanan sekitar 1.5 jam lewat Kopeng lalu ke kanan ke arah Grabag. Sampai di kaki gunung Telomoyo, tepat adzan duhur berkumandang. Kami rehat sebentar dan membeli nasi bungkus untuk makan malam. Ada 4 jalur pendakian ke gunung Andong yaitu via Temu Gogik, Sawit, dan Pendem. Kami memilih via Pendem. 

Setelah registrasi di basecamp Pendem, kami start mendaki pukul 13.50. oh ya biaya registrasi 20k per orang. 
Dari pintu masuk pendakian, jalan paving terus menanjak dengan view kebun sayur di kanan kirinya. Dari bawah sudah terlihat tulisan besar G. ANDONG beserta puncaknya yang bikin semangat. 
Wuah, masuk ke rumpun bambu, emak sudah ngos ngosan meski sudah menerapkan teknik bernapas lewat hidung, lalu keluarkan lewat mulut. Langkah kaki juga pelan tapi pasti. Badan tegak. Haishhh pegel, bestie😆

Trek menuju pos satu kami melewati pepohonan pinus yang sejuk dan adem. karena ini weekend, kami sering nanjak bersama pendaki lain, juga berpapasan dengan pendaki yang turun. Nggak cuma anak muda, tapi juga Oma opa usia 50-an. Kerenn. 
Trek terus menanjak, dan Alhamdulillah sampai juga di pos 1 Mantenan. Rehat bentar. Minum, mengatur napas, terus lanjut lagi. 
Dari rumah kita udah mengantisipasi kalau anak minta gendong, tantrum atau rewel di tengah jalan, tapi alhamdulillah anak-anak ceria, happy, dan nggak ada satupun yang minta gendong. Beberapa pendaki yang bertemu dengan rombongan kami auto motoin anak-anak, juga memberi mereka semangat. Mereka melesat, sedangkan saya jalan pelan-pelan, duduk nglemprak di trek, dan minum. Dengan penuh perjuangan, saya dan adik bungsu yang dikit dikit berhenti (jadi suami nemenin kami berdua kwwkk) sampai di pos 2 Watu Gambir. Enaknya di pos 2 ini tersedia 3 toilet bersih dengan air gunung yg deras dan dingin banget.
Mari kita lanjuut. Treknya nanjak terus dan hampir tanpa bonus. Alhamdulillah cuaca sangat cerah jadi jalan nggak licin. Treknya sseperti anak-anak tangga dari susunan batu. Meski begitu tetap hati-hati saat menapakkan kaki biar badan stabil. Dari sini, pemandangan tampak keren banget. Hawa dingin sudah terasa. 
Sampai di mata air, anak anak sudah tak tampak lagi. Mereka mungkin malah sudah mendekati puncak. Kaki saya udah kerasa pegal huks tapi harus terus melangkah. 
Yup! Sampai Pos 3 Gambar Wayang, saya nglemprak lagi. Cuek saja meski gamis jilbab jadi kotor penuh debu. 

Oke. Karena semakin sore kami bertiga segera naik, naik, dan naik lagi. Semakin berlama lama rehat, suhu tubuh turun dan makin lemas. Karena puncak terasa semakin dekat, kami makin bersemangat. Kami pun tiba di puncak makam. Lantas kami belok ke kanan dimana ada tanjakan dan pegangan kayu, terus menanjak akhirnya kami tiba juga di puncak andong 1726 mdpl sekitar hampir jam 5 sore. Anak anak, om dan tantenya udah duluan setengah jam haha. Kecee. 
Puluhan tenda warna-warni sudah berdiri.  Kami memutuskan untuk segera membongkar carrier lalu membuat tenda sebelum kabut turun. Sebelum magrib, dua tenda sudah berdiri. Fysheet ditengah2 antara dua tenda sehingga bisa untuk tempat logistik. Sampai langit gelap dan kabut menyelimuti, kami sudah wudhu dan lanjut shalat magrib di dalam tenda. Tanda besar untuk saya, adik tengah, adik bungsu, dan dua anak perempuan. Sedangkan tenda yang ukurannya lebih kecil, untuk duo bapak dan dua anak laki. 
Setelah makan malam, cuci tangan, dan pee, habis sholat isya langsung pakai jaket dan selimut, kruntelan di dalam tenda. Suasana sepi karena memang kami memilih lokasi yang jauh dari tenda-tenda tadi. Takut berisik dan nggak bisa istirahat. 

Sebelum tidur, saya oleskan hot cream agar kaki berkurang pegalnya. Berkali-kali saya bangun dan rasanya ingin mewek karena tempurung lutut dan paha rasanya nyerii. Sudah dipijit2 plus dibalur minyak kutus kutus, tapi tetep rasanya Subhanallah sekali. Hukss. Herannya anak2 bisa tidur dengan nyaman tanpa mengeluh kaki sakit. Alhamdulillah.

Berkali kali saya dan adik terbangun karena mendengar langkah-langkah kaki, lalu suara gelak tawa yang ramai, susul menyusul. Jam 2 pagi bahkan ada yang baru mendirikan tenda. Tentu mereka jalan malam hanya diterangi headlamp dan senter. 
Mau bangun jam 3, badan rasanya tak sanggup. Akhirnya menjelang subuh kami baru bangun dan salat subuh di dalam tenda. Begitu keluar tenda, maasyaa Allah. Gunung Merbabu tampak garang dengan kerlip-kerlip lampu di bawahnya seperti bintang yang bertebaran. Di samping kanan Merbabu, ada tapi yang mengeluarkan asap tipis-tipis. Perlahan semburat warna orange membentang dari langit. Ternyata di samping kanan kiri kami sudah banyak berdiri tenda. Para pendaki yang rata-rata anak muda, berkumpul untuk meng-capture moment sunrise. Kakak2 perempuan ada yang minta foto sama anak2. Para pendaki cowok yang lagi goreng sosis, nawarin sosis goreng ke anak2 meski mereka malu malu kucing untung ambil haha. 
Setelah sarapan, kami lanjut menyisir puncak sebelah yaitu puncak alap alap. Jalannyq sempit, menurun curam lalu menanjak. Kanan kiri tebing dengan view cantik banget. Di sebelah barat terlihat gunung Sindoro Sumbing dan Prau yang tertutup awan tipis. Geser barat laut dikit keliatan gunung Ungaran dan Telomoyo. Di sebelah timur keliatan Gunung Merapi dan Merbabu. 
Oh ya di puncak makam dan puncak Alap-Alap tuh ada warung yang jualan kopi, teh, mie instan, dan gorengan juga hihi. Misal logistik abis, bisa deh mlipir ke warung. 

Jam 10 pagi kita balik ke tenda dan siap siap cek out karena hari semakin panas. Packing nya lumayan lama. Harus beres dan ingat, bawa turun sampahmu!😁
Sebelum cek out, kami foto ramai ramai mengabaikan momen untuk kenang2an. Perjalanan turun lebih cepat daripada saat naik. Meski kaki masih pegel dan nyut nyutan, Alhamdulillah kami selamat sampai ke basecamp. Setelah melapor pada petugas, kami bisa lanjut pulang ke Semarang. 
Capek, letih, pegal, dan ngantuk, tapi kami hepi banget. Semoga ini menjadi momen tak terlupakan buat semuanya. Kami mampir dulu ketemu Mbah Kakung dan Mbah uti di rumah makan di Tuntang. Hari Ahad, 31 Juli jam 16.30 kami sampai di rumah. 
Alhamdulillahilladzi bini'matihi tathimussholihaat. 
Semoga di lain kesempatan, Allah izinkan kami mendaki lagi. Whistlist: Gunung Ungaran atau Prau. Aamiin.











Komentar

Budiyanti mengatakan…
Pengalaman yang indah dan menarik Mbak. Subhanallah indahnya. Anak-anak juga kua dan sehat. Alhamdulillah. view nya Keren deh.
arinda shafa mengatakan…
iya betul bu. alhamdulillah Allah mudahkan. jadi pengen muncak lagi tapi entah kapan. hihi

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti