Langsung ke konten utama

Trying to Be a Momwriter bareng Asus VivoBook 15 A516 yang Keren dan Efisien

Sebuah keputusan

 “Uda, gimana?”

Malam itu, malam yang pengap di bulan April 2012, di antara suara tok tok pedagang nasi goreng keliling, ditingkah suara geberan motor anak remaja yang memekakkan telinga, aku menunggu dalam diam. Diam dalam ombang-ambing rasa yang entah. Deg-degan mendominasi. Tapi sudah kuenyahkan rasa gundah, galau, sedih, dan semacamnya, jauh-jauh dari hati. Aku lebih siap, bahkan jauh lebih siap atas apapun keputusan suami. Beliau pemimpinku, dan insyaa Allah aku ingin taat padanya, dalam hal kebaikan.

Satu menit, dua menit. Krik… krikk…

Ah, bukan tanpa alasan kuselipkan pertanyaan itu di antara pillow talk kami, ketika situasi mendukung dan ketika si kakak sudah lelap.

Resign. Siapkah?” tanyanya mantap, tatapannya langsung menangkap detil mimik mukaku yang baginya terkadang ajaib dan tak terduga.

Sudah kuduga sebelumnya. Belum genap tiga tahun usia pernikahan kami, aku sudah lumayan terlatih membaca ekspesi wajahnya. Kali ini, serius. Ya, sejak dua minggu lalu janin super mungil perlahan tumbuh di rahimku dan si kakak belum genap 2 tahun.

Kehidupan selalu menawarkan pilihan-pilihan, dan kita harus bijak memilih, bukan?

Akhirnya, perbincangan kami menemukan mufakat. Dengan bismillah dan ridha, aku resign dari profesiku sebagai guru.

 

How’s next?

            “Kalau begitu, Uda izinin aku menulis?” tanyaku memastikan. Saat mengajukan pertanyaan itu aku 100% sadar dengan apa yang kutanyakan.

            “Tentu. Jika itu pilihan ummi dan ummi bahagia menjalaninya,” jawabnya bijak.

piranti korespondensi (www.shopee.com/the.hans.corner)

            Anganku mengembara ke masa seragam putih merah, dimana aku doyan pinjam buku bacaan di perpus sekolah. Belum genap tiga hari, sudah mengembalikan buku dan pinjam buku baru. Fasilitas dari ayahku adalah majalah Bobo, Donald Bebek, dan majalah Aku Anak Saleh. Selain itu korespondensi menjadi hobi. Kirim surat ke penyanyi cilik (zaman itu budaya yang ngehits) juga punya sahabat pena.

Lantas, saat SMP gayanya sok-sokan nulis buku harian pakai bahasa Inggris berbekal kamus Hasan Shadily. Buku diary-nya pakai gembok yang ternyata abal-abal soalnya bisa dibuka pakai kunci apa aja yang bentuknya mirip. Aduh ada nggak sih yang se-frekuensi dengan kegokilanku dulu? Haha.

Masa putih abu-abu, buku harianku tambah banyak. Enam atau tujuh buah dengan halaman yang tebal. Segala macam kejadian, konflik sama teman, dikejar secret admirer *kibasponi, curhatan teman, isi surat kaleng, kesel sama guru, campur aduk di situ. Saat masuk jurusan bahasa, aku mulai gila membaca buku-buku sastra, juga mencoba peruntungan mengirim tulisan ke media masa, meski nggak satupun dimuat. Syedih! yang bikin LOL adalah saat membaca ulang diary SMP. Grammar-nya kacau balau, tenses asal-asalan, bahkan aku curiga kalau saat itu belum ngerti apa itu verb, noun, adjective, single, dan plural. Aku pura-pura lupa kalau penulis diary semrawut itu aku sendiri. Wkwk.

Anehnya aku diterima kuliah di jurusan bahasa inggris lewat SPMB. Ajaib ya. Lebih ajaib lagi, aku semakin suka membaca buku-buku. Aku menabung seribu demi seribu, rela nahan jajan dan irit beli pulsa (zaman kuliah dulu belum kenal sama Mas Kuota—ketahuan deh angkatan berapa wkwkw)—demi bisa beli buku setiap minggu. Sering nulis meski tidak dipublikasi alias masih setia mengisi diary. Saking nge-fans nya sama buku harian, sampai-sampai skripsiku mengambil topik ‘Diary Writing’ *mentok ide. Namun, sungguh kuakui bahwa menulis menjadi terapi hati paling ampuh ketika mulut sedang tidak ingin bicara. Menulis menjadikan hati lebih lapang dan bahagia. Akupun menjadi psikolog dadakan yang menampung berupa-rupa kisah dari banyak teman. Bukankah itu adalah ‘modal awal’ untuk menjadi penulis?

            “Tapi, sejak kerja dan nikah, udah jarang sekali nulis, Da. Terakhir kali nulis, ya skripsi.” Kami nyengir berjamaah.

            “Ya nggak ada salahnya dicoba kan? Semangat!” Caranya mengucapkan semangat mengingatkanku pada peserta Benteng Takeshi yang mau masuk labirin segi enam. Ini generasi Y kena roaming. Hehe.


Let’st Start Over

            Alhamdulillah, tahun itu sudah punya akun Facebook. Dari sana, banyak info lomba  menulis cerpen dan puisi yang diadakan oleh penerbit indie. Aku mencoba ikut. Bermodal komputer jadul dengan RAM 125 MB, disambi momong kakak batita, ditambah drama hamil muda, aku menulis lagi. Me-refresh otak lagi, melemaskan jari-jemari lagi, belajar lagi, dan membiasakan diri duduk di depan layar kotak saat masih menjadi mahasiswi dan saat bekerja dulu. Tak disangka, lomba yang pertama kali kuikuti sekaligus cerpen pertama yang kupublikasikan, menjadi runner up, dan diterbitkan menjadi bunga rampai (antologi).

karya pertama yang dipublikasikan

            Rasanya masih seperti mimpi, saat itu. Bisa jadi aku punya bakat terpendam, yang saking dalam terpendamnya, jadi sulit digali. Tapi setidaknya, pencapaian kecil itu membuatku lebih pede dan bersemangat. Hingga si baby lahir pun, aku tetap bisa menulis coretan di atas kertas atau di ponsel. Kalau anak-anak tidur, aku baru menyalakan komputer dan mulai berenang di samudera kata-kata. Aku merasa lebih beruntung sebab punya komputer. Meski LSSSLS (loading sungguh super sangat lama sekali) hanya demi membuka ms.word, aku tetap bersyukur. Penulis lain ada yang tiap ngetik harus ke rental dulu. Hebat bet perjuangannya.

Semakin Bersemangat!

            Tahun berikutnya, sebuah komunitas penulis, lahir di kota kelahiranku: Ambarawa. Komunitas itu bernama Penulis Ambarawa. Di sini, kami semua pemula. Tidak ada senioritas. Kami menjadi teman sharing dan mentor satu sama lain, saling berbagi pengalaman dan informasi, dengan tekad untuk bertumbuh bersama. Dunia literasi ini membuatku candu. Kopdaran rutin, pelatihan menulis, musikalisasi puisi, temu tokoh, kemah literasi, bincang sastra, bedah buku, peluncuran buku antologi, mengadakan lomba, belajar nge-blog, dan masih banyak lagi. Aku bahagia meski bolak-balik Semarang-Ambarawa beberapa kali dalam sebulan, meski rempong membawa duo batita.

Kopdar komunitas Penarawa (Penulis Ambarawa)

            Di blog yang kubuat sekitar bulan Desember 2013 (saat itu masih pakai blogspot), aku menuliskan di header blog: Arinda Shafa, momwriter wannabe (singkatan dari want to be) yang berarti ‘ingin jadi ibu dan penulis’ namun ternyata setelah browsing, kata ‘wannabe’ means ‘someone who whishes to be or do something but lacks the qualifications or talent, an overeager amateur; an aspirant (wiktionary.org). Hadeh, auto tepok jidat. Malu ey, secara lulusan bahasa Inggris gituh. Yah, sebenarnya sedikit ada benarnya juga sih. Untuk menjadi penulis kan juga berawal dari amatir juga. Hehe. Jadi gimana dong? biar konotasi (dan auranya ceileh) jadi positif, makanya diganti ‘trying to be’. Trying to be a professional momwriter. Aamiin ya Allah.

“Melakukan kesalahan membuatmu belajar. Jadi, jika kamu ingin belajar sepanjang hayat, maka masih banyak kesalahan-kesalahan lain yang antre untuk dicoba.”—Arinda Shafa

Eh, Astaghfirullah, quote macam apa itu. Maafkan aku sedang khilaf. Oke quote-nya kuganti deh biar nggak diprotes netijen. Nah, ini quote yang beneran.

“Orang yang tidak pernah berbuat kesalahan biasanya adalah orang yang tidak pernah berbuat sesuatu.”—W C Magee

 

Say Goodbye pada Komputer

           Akhirnya setelah kuajak kerja rodi plus kerja romusha selama tiga tahun, tiba saatnya si kompi pensiun. Terima kasih, telah menemani perjuanganku sejak kuliah. Hikss. Sebagai gantinya, adekku berbaik hati minjemin laptopnya. Karena baterainya udah nggak berfungsi, akhirnya harus mengetik dalam kondisi nancep di colokan. Kebayang rasanya kalau mendadak mati listrik dan belum disimpan ketikannya. Kabar baiknya, aku malah lebih giat nulisnya. Kirim-kirim ke media, ngeblog, nulis, dan bikin powerpoint untuk mengisi kelas menulis. Sebenarnya aku termasuk penulis yang belum menemukan karakter. Punya blog gado-gado banget isinya, kayak review tempat wisata, buku, dan film; sharing seminar parenting; cerpen; acara literasi; tips nulis; review produk susu; sampai resep masakan. Segala rupa jenis tulisan kucoba, mulai dari cerpen, puisi, cerita mini, cerpen anak, resensi buku, artikel, naskah buku bergambar, dan novel.

           Dari ke-maruk-an menjajal segala rupa tulisan, satu per satu bukuku terbit, antologi seratusan, dan dua puluhan tulisan dimuat di media. Pencapaian yang bisa jadi biasa saja bagi orang lain, tapi bagiku priceless. Kutipan indah dan makjleb ini membakar hatiku, hingga berkobar.

“Menulis itu mudah. Tapi bagaimana agar setiap huruf berarti dan bisa membuat pembacamu bergerak ke arah lebih baik tanpa kau gurui.”—Helvy Tiana Rossa.

          

Keluarga ASUS

           Setelah laptop adek wasalam, aku sempat pinjam laptop ibu yaitu ASUS seri X455L warna merah. Ia menjadi penolong saat harus mengedit, revisi, dan dikejar dateline. Seneng banget ternyata laptopnya kooperatif dan cap cus alias bisa diajak ngebut. Laptop ASUS itu menemaniku berjuang untuk bisa beli laptop baru cash. Aamiin.

laptop-laptop ASUS

           Eh selang beberapa bulan, laptop itu diwariskan ke adik. Jadilah Si ASUS merah itu berpindah kepemilikan. Ibu beli lagi laptop ASUS seri X453S warna ungu. Akhirnya kupakai laptop itu untuk semakin gencar nulis dan ngiklan buku juga biar laris manis di pasaran. Beberapa bulan kemudian, royalti bukuku cukup untuk beli laptop impianku: ASUS VivoBook Max X441MA warna putih. Alhamdulillah.

           Salam hangat dari keluarga ASUS yang laptop dan ponselnya merek ASUS. Yeay!

 

        Kita flashback sebentar ke film yang sempat booming sekitar tahun 2008, Laskar Pelangi. Millenials pasti masih ingat soundtrack filmnya, bahkan masih ingat liriknya. Yup, izinkan aku nyanyi sebentar ya meski suaranya mirip radio kemresek.

“Mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukkan dunia.

Berlarilah, sampai lelah, sampai engkau meraihnya.”

Dah segitu aja nyanyinya. Sisanya adalah wewenangnya Mas Giring untuk melanjutkan. Aku mlipir aja. *takut disorakin dan dilempar hate-speech. Wkwk.

Kesimpulannya adalah: tanpa impian besar, segede apapun kesempatan dan fasilitas, jadi nothing. Ada ribuan pasukan, jadinya malah tenggelam kayak Firaun. Mau harta bejibun, jadinya malah kayak Qorun. Kenapa? Karena tujuannya bukan dalam rangka kebaikan. Naudzubillah deh.  Yuk kita sejenak belajar dari kisah-kisah menyejarah. Tanpa impian besar, Shalahudin Al Ayyubi tak akan berhasil membebaskan Yerusalem, Thariq bin Ziyad tak akan sukses menaklukkan Andalusia, Muhammad al Fatih mustahil membebaskan Konstantinopel, Al-Khawarizmi gagal menemukan aljabar dan angka nol, Einstein batal menemukan teori relativitas E=mc kuadrat, Neil Amstrong tak sanggup menjejakkan kaki di bulan, Christopher Latham Sholes tak jadi menemukan mesin ketik, Charles Babbage urung menemukan komputer pertama, dan aku menyerah menemukanmu jiyaahh #mendadakbucin. Btw, dua penemuan terakhir itu sungguh bermanfaat bagi para penulis. Maturnuwun sanget Mbah Sholes kalian Mbah Babbage. Hmm, bisa jadi pencapaian kita nggak se-fenomenal mereka, tapi impian besar itu tetap harus dalam koridor kebaikan. Impian itu selalu dijaga nyala niatnya sebagai bahan bakar semangat dan produktivitas kita. Sepakat?!


Sebesar apa impianmu? Pastinya setiap orang punya standar sendiri. Punya barometer impian kita sendiri dan nggak bisa disamakan satu sama lain. Ukuran pencapaian dan level kebahagiaan itu juga berbeda-beda versi. Daaan jelaslah kita yang bertanggungjawab penuh untuk mewujudkannya.

Pada umumnya, impian kita merujuk pada beberapa faktor seperti bakat, minat, passion (gairah), dan inteligensi yang dimiliki. Seseorang yang punya jiwa kepemimpinan, misalnya, cenderung punya impian menjadi orator ulung, pemimpin perusahaan, bahkan pemimpin negara. Seseorang yang menonjol dalam suatu bidang (seni, olahraga, bisnis, ilmuwan, dll), biasanya impian merekapun tak jauh-jauh dari sana. Tugas kita adalah mengasah bakat, minat, passion, dan inteligensi tersebut menjadi karya yang membawa banyak manfaat.

rumah baca sederhana yang kurintis

Menurutku ada korelasi antara hobi dan minat membaca, pada impianku yaitu menjadi ibu penulis. Setelah sedikit demi sedikit impian itu tercapai, aku ingin punya rumah baca. Rumah baca yang ada sekarang memiliki sekitar 600 buku berbagai tema seperti agama, parenting, traveling, bisnis, motivasi, pernikahan, ensiklopedia, buku anak, dll. Memang kegiatannya sudah berjalan, tapi masih dalam ruang lingkup yang kecil. Semoga kedepannya bisa memberikan kontribusi yang lebih luas. Aamiin.

    Hunting buku di bookfair


            Impian lain yang selalu kutulis di biodata adalah kesempatan untuk nulis buku duet atau trio bareng anak-anakku. Saat ini mereka sedang belajar untuk menemukan bakat dan minatnya, namun suatu saat nanti impian itu bisa terwujud. Aamiin.

sarana belajar public speaking

            Konon, diantara 4 kecakapan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis), menulis adalah yang paling sulit. Menghasilkan tulisan yang bagus sama susahnya dengan menyuruh ayam mengeong (wwkk fans-nya Andrea Hirata pasti familiar dengan kalimat tersebut). Namun, bagiku lebih mudah menulis daripada berbicara di depan umum. Nah, untuk mentransfer ilmu, harus bisa public speaking juga kan, biar nggak belepotan ngomongnya. Semoga Allah mudahkan. Aamiin.

 

a.      Tetapkan Visi/tekad yang kuat.

Aku pernah menonton sebuah video motivasi yang didalamnya memuat rahasia impian. Ia menulis 100 daftar impian di atas kertas dan ditempel di dinding kamar. Lantas aku mencobanya. Hmm, kelihatannya sepele ya. Setelah kulakukan, benar-benar mentok di angka 80-an. Padahal tinggal nulis doang hal-hal positif yang kita inginkan. Oh ya lebih baik visi itu ditulis dengan detil untuk afirmasi positif bahwa kita bisa mencapainya.

b.      Tetapkan tujuan

Kalau ditanya tujuan menulis? banyak dan bermacam-macam. Untuk ibadah, menyebarkan kebaikan, untuk memotivasi, menginspirasi, menyentuh hati, atau menghibur pembaca, untuk terapi dari stress, kepuasan batin, atau untuk cuan. Semua sah-sah saja. Semakin spesifik dan jelas tujuannya, maka akan membuat kita semangat.

c.       Kemauan dan take action.

Ini kuncinya. Apapun impian yang ingin kita raih, harus mau menikmati prosesnya selangkah demi selangkah. Keberhasilan gak dicapai secara instan, jadi harus mau belajar terus. Misalnya, banyak baca buku, berdiskusi, rajin mencatat ide, dan menargetkan diri untuk menulis setiap hari adalah contoh action. Nggak harus menulis di laptop, di ponselpun, atau di kertas bekas bungkus bawangpun jadi. Pepatah Barat ‘learning by doing’ dan ‘practice makes perfect’ serta ‘no pain, no gain’ pas banget untuk memotivasi.

Senada dengan peribahasa di atas, orang Indonesia juga punya peribahasa tentang arti perjuangan yaitu berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Dalam bahasa Arab pun kita mengenal ‘man jadda wajada’; siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Kalau versi bahasa Jawa, Jer basuki mawa beya. Ya, ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu. Masa pandemi bukan halangan untuk berkarya. Kita bisa ikut kelas menulis daring, menjajal genre baru, menantang diri ikut lomba nulis, ikut tantangan marathon menulis, ikut projek antologi, ikut sertifikasi penulis, dan ngeblog misalnya. Kalau emak macam aku ya agak fleksibel waktunya karena disambi momong juga *jago ngeles.

mengikuti sertifikasi penulis

d.      Langitkan doa dan tawakal

Doa tanpa usaha itu sia-sia. Sedangkan usaha tanpa doa itu sombong. Jadi, keduanya harus sejalan, ditambah dengan tawakal (berserah diri kepada-Nya) akan hasil terbaik.

 

Penulis zaman now, keren dan efisien

Dunia kepenulisan terus berkembang dari masa ke masa. Penulis zaman dulu harus menggunakan mesin ketik untuk mengirimkan manuskip ke penerbit. Setelah itu, ada komputer, lalu laptop yang semakin memudahkan kita dalam menulis. Ketika dulu mengirimkan naskah harus diantar langsung ke kantor penerbit atau kirim lewat pos, kini bisa memangkas biaya dan waktu dengan kehadiran e-mail/ surel. Asyiknya lagi ada grup penerbitan yang punya web khusus untuk pengiriman naskah sehingga mengirim naskah lebih mudah. Kemajuan teknologi memang keren dan efisien.

beberapa tulisan di media massa

 Di zaman digital ini, media menulis juga sangat beragam. Menjamurnya platform digital semisal Wattpad, Storial.co, KBM App, Novelme, dll melahirkan banyak penulis-penulis baru. Tak jarang ada yang meraup rupiah hingga puluhan juta lewat platform tersebut. Jikapun belum ngeh menulis di platform, jangan khawatir. Bidang tulis menulis bisa masuk dalam banyak bidang, misalnya penulis skenario, cerpenis, jurnalis, konten kreator, copy writer, editor, manager media sosial, blogger, influencer, digital marketer, dll.

Kegiatan menulis menjadi semakin nyaman dan seru apabila didukung dengan alat tempur yang memadai. Laptop ASUS merilis banyak seri laptop sesuai kebutuhan. Ada ASUS ExpertBook untuk kalangan pebisnis, ASUS TUF Gaming untuk para gamers, ASUS ChromeBook untuk browser dan aplikasi web, ASUS ProArtStudioBook untuk para pekerja multimedia, ASUS ZenBook untuk profesional, dan lain-lain. Sedangkan ASUS VivoBook 15 A516 ini yang paling cocok denganku yaitu untuk penggunaan umum terutama mendukung aktivitas menulis. Yang saat nulis, bisa multitasking: sambil denger musik yang mendukung mood, browsing, cari referensi di ipusnas dan YouTube, ngedit foto via canva, chat dengan editor atau illustrator via whatsup web, dan masih banyak lagi. Etapi nulisnya harus fokus yaa. Ingat, fokesss dan jangan banyak distraksi biar naskah segera kelar #selfplak. Secara laptopnya udah ASUS VivoBook 15 A516 yang super keren dan efisien, masa penulisnya malah loyo. Kan nggak sinkron tuh #selfplakedisi2.

Laptop ASUS VivoBook 15 A516 yang mengusung tagline ‘Easy portability. Effortless productivity’ ini, tentu membuat kepo maksimal kan. Yuk mari kepoin spek dan keunggulannya.

 

Spesifikasi Keren Asus VivoBook 15 A516

1.      Layar lebar, cocok untuk nobar

Layar lebar dan besar dengan ukuran 15 inci, akan memanjakan visual Anda.  Selain itu laptop ini memiliki resolusi full HD (1920 x 1080 pixel) dengan kualitas gambar lebih bagus dan ‘halus’. Tampilan layar bening bak kulit artis yang rutin skinkeran. Hehe. Laptop ini juga dilengkapi dengan anti silau (anti glare) yang nggak bikin sakit mata dan membuat kita fokus pada layar. Screen-to-body-ratio hingga 83% dan teknologi NanoEdge display menyajikan tampilan hingga 178 derajat luas membentang sehingga lebih nyaman untuk mata. So, emak yang suka nonton bareng anak-anaknya, bisa banget deh.

2.       Desain ringkas, bikin tangkas

Desainnya ringkas dan simpel. Nggak makan banyak tempat di backpack, jadi tetap asik untuk dibawa perjalanan. Jadi tetap bisa ngetik dimanapun dan kapanpun. Kalau buatku, tentu oke untuk dipindah-pindah sesuai mobilitas emak. Kadang dibawa ke ruang kerja, ke ruang tamu, ke teras, bahkan ke kamar. Fleksibel banget.

3.      Beratnya enteng, tapi nggak kaleng-kaleng.

Dengan efisiensi yang tinggi serta dimensi thin and light, laptop ini menawarkan peningkatan performa dan produktivitas untuk penggunanya. Beratnya hanya 1.8 kg. Ringan kan? Semoga suatu hari nanti, BB emak bisa menyesuaikan. Huks.

4.      Prosesor strong, bikin bengong

Laptop dengan prosesor Intel Core 10th Gen series ke atas dan grafis diskirt NVIDIA MX330, didesain untuk performa dan mobilitas. Sangat modern dan kekinian, kan? Bahkan varian tertinggi menggunakan prosesor intel core i5-1035G1 dengan konfigurasi 4 core dan 8 thread dan boost clock hingga 3,6GHz oleh karena itu andal untuk bekerja, browsing dan menikmati konten multimedia. Konektivitas WiFi generasi terbaru juga memungkinkan transfer data 3x lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya. Pasti wushhh!

5.      PC komplit, manfaat selangit.

Nikmati semua manfaat dengan PC yang lengkap--termasuk Microsoft Office Home dan Student 2019, aplikasi Office versi lengkap (Word, Excel, dan PowerPoint) memberikan semua fungsi yang dibutuhkan dan diharapkan oleh penggunanya. Penggunaan aplikasi Office seumur hidup dapat memastikan Anda untuk selalu memiliki akses ke fitur yang Anda kenal dan sukai. Dilengkapi dengan 100% aplikasi Office asli, software juga akan terus mendapatkan pembaruan keamanan yang rutin untuk melindungi perangkat, program, dan data Anda. Wow! mendukung banget buat aktivitasku yang nggak jauh-jauh dari Ms. Word buat ngetik, Ms. PowerPoint untuk bikin slide presentasi, dan Ms. Excel untuk ngrekap royalti. Klop deh.

6.      Ruang penyimpanan lapang, hatipun senang.

Komputer masa kini memiliki tampilan berbeda karena mereka memang berbeda. Dengan Solid-state Drive (SSD) dan teknologi terkini, Anda mendapatkan kecepatan keamanan, ketahanan, dan desain yang cantik. Kami telah melakukan jajak pendapat, dah hasilnya orang-orang lebih senang saat bepergian dengan PC modern. Ruang penyimpanan ganda dengan kapasitas mulai dari 256 GB serta HDD hingga 1 TB, membuat kinerja laptop tetap stabil. Mau menyimpan banyak file hasil ketikan, gambar editan, foto-foto kenangan, video dokumentasi, film, dan aplikasi lain, tak perlu khawatir jadi lemot.

7.      Sensor sidik jari, tak bikin was-was lagi

Dengan teknologi fingerprint (sidik jari) bawaan di touchpad dan Windows Hello, Anda tidak perlu repot-repot mengetikkan sandi setiap membuka laptop. Aman dari balita yang ikut nimbrung ketak-ketik sehingga ketikanku ambyar. Hihi. All you have to do is a touch. A miracle touch. Ups! Ini mengingatkanku pada dongeng King Midas dengan sentuhan emasnya.

8.      Fitur keyboard backlit, mengetik makin asyik.

Bagi seorang trying-to-be-a-momwriter sepertiku, keyboard juga menjadi pertimbangan saat mencari laptop. ASUS VivoBook 15 A516 ini punya fitur keyboard full-size dengan backlit sehingga cocok saat bekerja di ruangan minim cahaya. Desain ergonomis dan key travel 1,4 mm membuat aktivitas mengetik semakin nyaman.

9.      Mudah terhubung, langsung nyambung.

Laptop ini dilengkapi denga port USB-C 3.2 yang dapat diputar balik. USB 3.2 tipe-A dan USB 2.0, output HDMI, dan microSD reader memungkinkan Anda menghubungkan semua periferal, layar, dan proyektor dengan mudah. Langsung konek, nggak pakai lama, dan nggak pakai drama euy!

10.  Fitur peredam guncangan, data tetap aman.

Teknologi E-A-R HDD yang dimiliki laptop ini, bertugas melindungi data Anda dari setiap benturan. Hard drive aktif secara otomatis mendeteksi getaran dan benturan sehingga efektif mengurasi kerusakan HDD meski Anda bekerja dalam perjalanan. Teknologi sasis (chassis enhancements) juga memudahkan Anda saat mengetik dan menggunakan touchpad, serta untuk membuka dan menutup laptop dalam gerakan halus.

11.  Tipis, manis, dan geulis

Laptop ini memiliki ketebalan hanya 19.9 mm dan menawarkan dua pilihan warna yang mewah dan elegan yaitu Transparent Silver dan Slate Grey. Jadi mupeng hendak meminang si tipis, manis, dan geulis ini.

Jadi, tunggu apalagi. Rasakan pengalaman menakjubkan bersama ASUS VivoBook 15 A516 yang keren dan efisien.

"Artikel ini diikutsertakan dalam ASUS -15 Inch Modern PC. Bigger Dream, Wider Screen Writing competition bersama dewirieka.com"

 

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti