Langsung ke konten utama

Lelaki Tua dengan Keriut Pikulan di Pundaknya



Bagi Nin, tidak ada yang membuatnya lega kecuali sudah berbagi.
         Tak muluk-muluk harapan ibu muda usia 25 tahun itu. Sepotong senyum memberi arti tersendiri mengingat di dunia ini sudah banyak orang lupa cara tersenyum. Senyum pada suami, kedua anaknya, tetangga, sampai pada tanaman yang ia sirami setiap pagi. Ekonomi pas-pasan bukan untuk dijadikan alasan bagi tangannya erat menggenggam. Kucing liar, burung yang mampir di teras rumah, dan semut yang berjalan beriringan, telah merasakan cipratan rezeki dari tangan Nin. Tangan yang selalu bergerak untuk menabur. Sekecil apapun kebaikan yang disertai ketulusan, mencipta hari-harinya penuh warna.
Hingga di suatu siang yang sendu karena hujan, seorang tukang somay berteduh di carport rumahnya. Seraut wajah tua yang lelah dan basah, mengetuk pintu. Hanya meminta kemurahan hati tuan rumah untuk izin berteduh. Gigil berpadu gigi yang gemeletuk sontak menerbitkan iba di hati Nin. Nin mengangguk. Ekor matanya melirik pada dua kotak seng yang disambung dengan pikulan bambu. Dagangannya masih banyak. Suara tik tok somay-nya pasti kalah dengan riuhnya hujan yang mengalir deras di talang-talang hingga selokan.
Nin masuk ke dalam rumah. Merogoh kantong celana dan baju, mengorek isi laci, dan meraba-raba bibir lemari demi mencari recehan. Tanggal tua seperti ini, uang sudah habis untuk belanja. Ah, tiga ribu rupiah terkumpul untuk membeli somay si bapak. Wajahnya sumringah.
            “Maturnuwun, bu, sudah dilarisi,” ucapnya terharu.
Nin melihat tanda-tanda lapar di wajah bapak tua. Mendadak teringat kisah Khalifah Umar yang memikul karung gandum hingga lecet-lecet pundaknya. Hingga terseok-seok langkahnya demi seorang janda yang terpaksa merebus batu untuk anak-anaknya. Jangan-jangan pundak bapak itu juga lecet? Aduh, alangkah perihnya. Nin bergegas mengambil makan siang berlauk sederhana: nasi putih, oseng kangkung dan tempe goreng. Diberikannya pada pak somay yang termangu-mangu menatap hujan. Lelaki paruh baya itu menerima dengan gemetar, terbata mengucap terima kasih. Dari balik daun pintu, Nin menghapus air matanya.
Tiga pekan berlalu. Si bapak lewat lagi. Nin memanggil. Ada kelebihan beras di rumah. Ia sudah bersepakat dengan suaminya bahwa beras atau makanan boleh diberikan kepada yang membutuhkan. Tidak harus menunggu momen akhir ramadhan untuk membayar zakat, pesannya selalu.
            Namun, bulan-bulan berikutnya, si bapak somay tak lagi menampakkan batang hidung. Hingga keluarga Nin pindah rumah.

sumber gambar: www.kompasiana.com

Si bapak somay kehilangan jejak Nin. Rupanya sehari sebelum kepindahan Nin, pak somay sudah berencana menggratiskan dua porsi somay-nya untuk anak-anak Nin. Somay kecap yang tentu membuat lidah kecil mereka berdecap-decap riang. Saat Nin pindah, pak somay memang tidak jualan karena meriang. Esoknya, hati pak somay mencelos kala mendapati rumah Nin kosong. Sepeda roda tiga anaknya juga tidak ada di carport. Ia sudah mencoba bertanya pada tetangga Nin tapi tak ada yang tahu pasti alamat Nin yang baru. Pak somay terus berdoa dalam tiap langkahnya agar suatu ketika dapat membalas kebaikan Nin.
Tiga tahun berlalu tanpa terasa.
            Bumi masih setia berotasi. Manusia lahir dan kembali. Ada manusia-manusia yang tak berubah seiring perbaikan ekonomi. Mereka tetap konsentrasi pada aktivitas berbagi. Satu diantara mereka adalah Nin. Di rumah barunya, perempuan itu sengaja menanam bunga-bunga agar kupu-kupu dan serangga hilir mudik, saling bertransaksi, bertebaran mencari rezeki.
            Di saat yang sama, Pak somay tanpa sengaja bermaksud melebarkan sayap dagangnya ke kompleks sebelah. Mencari suasana baru. Pelanggan baru.
Sore yang cerah itu, itu takdir indah mempertemukan pak somay dengan Nin.
Lelaki tua itu terkejut tak alang kepalang melihat Nin yang tengah berjongkok merapikan halaman rumput. Ditinggalkannya pikulannya lalu memanggil.
“Bu! Jenengan pindah ke sini tho!" Wajahnya sumringah seakan habis mendapatkan undian berhadiah emas dua puluh empat karat.
Nin menyipitkan matanya. Masih belum ngeh dengan bapak tua yang berlari-lari kecil menyongsongnya. Energinya serupa baterai full charge. Saking semangatnya, handuk yang tersampir di lehernya hampir terlepas. Semakin dekat, Nin cukup ngeh dengan raut wajah lelaki tua itu meski seribu pernama tak melihatnya. Kulitnya makin gelap. Kerutnya semakin membanyak. Beberapa gigi depan tanggal hingga bicaranya didominasi huruf f dan h.
Pak somay itu cukup tahu diri. Tidak menyalami Nin yang pastinya akan dibalas dengan tangkupan tangan di depan dada.
"Pak??"
"Ibu pasti lupa ya.  Aku masih ingat. Sampeyan pernah kasih saya beras. Pernah kasih saya makan siang. Sering beli dagangan saya". Bapak itu tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Nin mengangguk2 dan tersenyum lebar. Sungguh ia lupa pernah memberi lelaki itu beras. Yang Nin ingat adalah postur kurus yang semakin bungkuk saja akibat beban-beban kehidupan.
"Apa kabar pak? Saya pindah ke sini sekitar 3 tahun yang lalu," ucap Nin. “Oh ya pak somay-nya masih?”
Lelaki itu seperti tersadar bahwa ia meninggalkan pikulannya beberapa meter di belakang. Ia mengambil sumber nafkahnya itu lalu penuh semangat meletakkannya di depan rumah Nin. "Masih. Tinggal segini."
Sembari melayani pesanan Nin yang hanya mengangsurkan uang sepuluh ribu rupiah, bapak itu berkisah tentang anaknya yang kuliah di kampus negeri ternama. Si bungsu masih SMA di kampung sana.
Nin memuji. "Luar biasa pak jenengan. Tetap semangat bekerja."
"Cuma ini yang bisa kulakukan, bu. Tak ada cara lain. Saya orang bodoh tak kenal sekolah. Anak saya jangan sampai seperti saya. Dia harus lebih maju." Ucapnya sembari menyeka peluh yang membulir di dahinya yang berhias kerut. Aroma matahari bercampur keringat meruap dari kaos usang yang bolong di sana sini. Celana panjangnya pun ditisik di beberapa bagian.
                “Aamiin, pak. Semoga jenengan sehat terus ya Pak.”
            Pak somay mengangguk-angguk.
            “Istri tinggal di sini juga pak? Atau di kampung?” tanya Nin.
                Wajah bapak somay yang tadinya cerah, mendadak digayut mendung. Menghela napas berat, ia bertutur.
            “Istri saya pergi, Bu. Pergi…”
            Perlu beberapa detik bagi Nin untuk mencerna maksud kata ‘pergi’. Apakah meninggal dunia atau benar-benar pergi dari rumah. Merantau, misalnya.
                Seperti tak membiarkan Nin terlalu lama berspekulasi, bapak somay memecah misteri. “Dia pergi … dengan lelaki lain.”
            Nin menelan ludah. Terasa getir. Segetir hidup lelaki tua yang benar-benar memahami hakikat berjuang beserta rentetan ujian di belakangnya. Manusia dan ujian, adalah serupa kawan karib.
                Sabar ya pak.” Hanya itu yang mampu terlahir dari bibir Nin.
            “Padahal kami sudah punya cucu, bu. Tapi ya biarlah. Memang ujian saya, bu.” pak somay menyerahkan piring yang sudah berisi seporsi penuh somay. Wajahnya berangsur cerah lagi. “Terima kasih banyak, Bu.”
                Nin mengangguk.
Bapak somay itu berlalu. Meletakkan bilah pikulan bambu di pundaknya yang semakin ringkih. Nin bahkan mampu mendengar suara keriut bambu itu seiring telapak kaki beralas sandal swallow tipis, melangkah patah-patah di paving blok.  Nin terpaku di tempatnya. Ia malu, sering mengeluh ini dan itu. Nin teringat ayahnya. Ayah yang menanamkan kebaikan berbagi, sejak Nin kecil dan akan terus dilakukannya hingga ruh terpisah dari jasad.
                Sungguh jika kau berbuat baik pada Allah, pada makhluk, pada siapapun, pada dasarnya kau berbuat baik pada dirimu sendiri.

#zakat
#kebaikanberbagi




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti