Langsung ke konten utama

Being A Writer and Blogger, Meminimalisasi Mager


“Don’t focus on having a great blog. Focus on producing a blog that’s great for your readers.’ (Brian Clark)

            Assalamualaikum, kawans.
           Agaknya, saya agak tersentil setelah menemukan nukilan di atas. Sebagai blogger ala-ala yang jarang upadate blog, jangankan fokus membuat blog yang keren. Bisa update setiap pekan saja sudah alhamdulillah. Heuu. Fokusnya terbagi antara ngurus 3 bocah, rumah, sampai revisi naskah. Ditambah kegiatan yang mengharuskan keluar rumah. Beginilah alibi seorang blogger yang cok cibuk.
            Etapi, saya benar-benar nggak bisa ninggalin blog gitu aja. Sudah tiga tahunan lebih saya ngeblog dengan segala pasang surutnya. Domain .com ini berusia setahun lebih dikit. Kata suami, sebagai motivasi agar lebih rajin update. Nggak banyak mager saat ada waktu luang untuk ketak ketik. Apalagi jadi blogger zaman now sudah dimanjakan banyak kemudahan. Bisa update blog lewat tablet/ smartphone juga. Kalau masih mager juga, itu ter-la-lu, kata Bang Rhoma. Hihi. Itulah saya.
            Meski begitu, saya punya beberapa alasan mengapa saya bangga dan bahagia menjadi seorang blogger. 

1.      Menulis blog = berbagi
Hal-hal yang saya tulis dalam blog biasanya berangkat dari keresahan/pemikiran dan pengalaman pribadi. Misalnya cerita inspiratif yang saya tulis berdasarkan kisah nyata, cerita jalan-jaalan nyobain tempat wisata baru, review buku yang barusan dibaca, review film yang baru ditonton, bahkan hasil ikut seminar. Nggak ada ruginya berbagi dengan niatan tulisan yang ditulis membawa kebaikan. Orang yang mau beli buku X, bisa baca review dulu. Orang yang mau nonton film Y, bisa baca dulu reviewnya. Atau yang nggak sempat ikut seminar, bisa kecipratan ilmunya. Semoga ada manfaat untuk diri dan orang lain.

2.      Blog gado-gado is fun
Blog saya memang masih apa adanya. Tampilan masih bawaan dari hosting lama dan ngak di-monetize. Seperti yang sudah saya singgung di poin pertama tadi, blog saya mah macam warteg yang menyajikan berbagai macam menu. Atau ibarat gado-gado yang berisi telur, sayur, lontong, dll itu. Nggak ada niche khusus semisal travel blog, lifestyle blog, beauty blog, dan semacamnya. Terus terang saya suka menulis bebas. Menulis apa saja yang ingin saya tulis menjadi tulisan utuh. Jadilah ada resensi buku, review film, cerpen, resep masakan, artikel kesehatan, parenting, agama, dan lain-lain. Kelemahannya sih di mood. Habis mengunjungi suatu tempat berkesan misalnya, nggak langsung ditulis sampai berhari-hari, berminggu-minggu, dan akhirnya batal ditulis. Ups! Jangan ditiru ya.

3.      Komunitas blogger, pelecut semangat
Awalnya saya gabung di komunitas blogger di dunia maya, saya minder berat. Saat itu teman-teman sudah ganti domain dengan dotcom, dotnet, dot-aidi. Selalu update blog, banyak yang menang lomba dengan hadiah kece, ngisi pelatihan blogger dimana-mana. Sedang saya menyadari dengan sepenuh jiwa bahwa saya angot-angotan ngeblognya. Berasa seperti remah-remah krupuk di kaleng besar khong guan. Saya berpikir, kok bisa ya hebat-hebat seperti itu? jawabannya adalah karena mereka fokus. Jadi inget theme song nya Asian Games kemarin ‘Terus fokus satu titik, hanya itu titik itu. Terus fokus kita kejar, lampaui batas’. Eaa jadi keterusan nyanyi deh.

Asyiknya punya komunitas blogger itu bisa sharing banyak hal, nyedot ilmu dari para suhu, kecipratan dapat job, dan bisa sesekali ikut event. Alhamdulillah bisa kopdar dan nambah saudara. Di grup whatsup yang berisi para blogger emak dan embak, always ramai meski saya masih setia jadi silent reader hihi. Dan untuk support anggotanya, grup blogger ini ada list blog walking setiap harinya. Mengunjungi blog demi blog, membaca satu per satu tulisan mereka bikin nambah ilmu dan terkadang memantik ide baru. Ting!

Nah ide ini yang biasanya saya brainstorming. Mau dijadikan tulisan di blog atau jadi calon buku? Yup, alasan saya nggak fokus akan saya beberkan di poin selanjutnya adalah jeng! Jeng! Jeng! *pakai toa

4.      Dari Blog ke buku
Terinspirasi dari Trinity yang awalnya nge-blog lalu sukses menerbitkan buku serial Naked Traveler-nya, saya kepikiran untuk menjajal dunia buku alias penerbitan. Dulu, sebelum kenal sama blog, saya mulai merintis karir *ehem dengan ikutan lomba menulis cerpen/puisi yang diselenggaraka oleh penerbit indie. Nantinya, tulisan terpilih dibukukan dalam antologi. Lumayan lah ada 100-an antologi. Haha. Lalu pernah juga menjajal keberuntungan di media massa. Sekitar belasan tulisan yang nembus berupa cerita anak, artikel, resensi, puisi, dan cerita inspirasi. Next, beralih ke blog untuk tetap bisa nulis. Menjamurnya blogging competition membuat otak saya ‘nyala’. Meski beberapa nekat ikutan—yang akhirnya zonk-- alhamdulillah mendapat kesempatan dua kali menang.

Lalu, kembali ke topik buku tadi. Saya merasa ‘panas’ tiap kali jalan ke toko buku. Karya penulis A berderet-deret. Buku penulis B bejibun. Penulis C best seller. Saya ingin menerbitkan buku yang dipajang di etalase itu dengan nama saya tercetak pada covernya. Dengan kepedean setinggi langit, saya merasa sudah punya bekal menjadi penulis buku. Apalagi kalau bukan tulisan di blog, media, dan antologi itu? mulailah saya berjibaku dengan proses panjang dan kesabaran seluas samudera hanya untuk menyelesaikan naskah utuh ratusan halaman. Dan satu demi satu, impian saya terwujud meski memakan waktu bertahun-tahun. Hehe.

5.      Dari Buku ke blog lagi
Anyway, itu mengapa saya nggak bisa milih salah satu di antara buku atau blog. Sama halnya disuruh milih antara teh atau gula. Yah, harus dua-duanya untuk menyesap secangkir minuman favorit itu. Saya mencintai aroma kertas dan tinta, juga rumah maya bernama blog. Bahagia ketika buku laris di pasaran. Tak kalah gembira saat ada ribuan, ratusan, puluhan, bahkan meski hanya segelintir viewer. Bersyukur saat royalty cair ditambah honor job menyusul cair. Semoga bisa seiring sejalan seperti sepasang sandal yang melangkah bergantian. Aamiin.

6.      Resolusi tahun 2019
Ngobrolin soal resolusi, saya punya banyak resolusi yang bahkan berisi resolusi tahun lalu yang belum juga kesampaian. Hukss. Ada resolusi diri, keluarga, agama, dan juga dunia literasi yang menjadi passion. Dari sekian banyak itu, saya pecah lagi menjadi step by step biar terasa riil untuk mencapainya. Baiknya, resolusi terkait dunia literasi saja ya. Pertama, ingin produktif nerbitin buku minimal 4 buku selama setahun. Yang harus saya lakukan adalah menulis setiap hari walau cuma selembar. Atau mencatat ide baru yang mendadak nongol atau menjabarkan outline dengan lebih rinci. Kedua, percantik tampilan blog biar lebih semangat update blognya. Ketiga, ingin si anak sulung bisa tembus penerbit. Itu sebabnya saya rela belikan anak banyak buku dan terus mendampinginya belajar menulis. Read a lot, write a lot. Keempat, mulai merintis rumah baca yang lebih serius semisal memberi label identitas buku, membuat daftar peminjam buku, dan mensortir buku. Kali aja bisa buka garage sale dan ada yang mau beli buku preloved. Hihi.

That’s all cerita dibalik layar emak writer n blogger wannabe yang berjuang meminimalisasi mager. Semoga suatu hari nanti, tak ada yang asing dengan profesi penulis/blogger yang tercetak di KTP. Semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih berkah dan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Aamiin yaa robbal alamiin.

Wassalamu’alaikum wr wb

Komentar

joe candra mengatakan…
Mantab kak, inspiring banget pokoknya mah msh bisa ngurus anak dan menulis, semangattttt :)

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti