Langsung ke konten utama

Jilbabku, Identitasku




Add caption

1997
            “Kain dari siapa, Bu?” tanyaku heran. Ada kain warna putih dan biru tua menjadi penghuni baru lemariku. Ibu sengaja meletakkannya di sana karena kain itu memang untukku.
            “Dari paklikmu. Buat seragam SMP-mu nanti.” Ibu menjawab datar.
            “Eh, Ini kok besar sekali?” kubentangkan kain itu lebar-lebar dengan dahi mengernyit.
            “Paklik menyarankan kamu pakai jilbab pas masuk SMP. Kamu sudah mau baligh lho.”
Ya ampun, jilbab?! Otakku bekerja cepat memunculkan file-file memori tentang kosakata baru itu.
Jilbab? Tutup kepala ala anak pondok pesantren. Jilbab? Kuno, nggak kece, dan sama sekali nggak gaul. Jilbab? Apa kata dunia jika aku pakai jilbab?
Ugh! Jilbab hanya membatasi ruang gerakku. Aku ini mau sekolah di SMP negeri favorit se-Kabupaten. Mana ada siswi yang pake jilbab. Kebayang aku bakal jadi alien nyasar.
“Aku nggak mau, Bu. Belum siap,” terangku to the point. Sungguh ini sebuah kejujuran. Ilmu agama masih cetek pakai banget. Baca qur’an belum benar tajwidnya. Belum mengerti apa-apa tentang aturan agama yang kupeluk sejak aku melihat dunia. Menurutku, jilbab adalah simbol keanggunan dan kecerdasan. Jilbab terlalu agung untuk melekat di kepalaku. Aku malu. Namun, ibu mana yang tak suka putrinya berjilbab?
Hingga 3 tahun berlalu, kain putih biru itu menjelma seragam baru—baju selengan dan rok selutut. Aku mengenakannya dengan nyaman. Sepotong rasa bersalah meretas saat teringat sang pemberi kain ini dan harapan beliau yang tak mampu kupenuhi.

Ramadhan 2001
            Lima tahun berlalu. Waktu seakan berkejaran. Meski tak selalu pelangi, waktu tlah mendapatiku di sini. Di sebuah ruangan kelas 2E SMA Negeri favorit di kotaku. Aku masih Airin yang dulu, gadis 15 tahun berseragam putih abu-abu yang masih juga enggan menutup kepalaku. Seragam modis minimalis dengan lengan ketat di atas siku. Seragam yang nyaris selalu menyumbang angka kredit point karena tak sesuai standar yang ditetapkan sekolah.
            Aku Airin, yang selama setahun terakhir ini telah memungut remah-remah hikmah yang tercecer di sekitarku. Ribuan tanya melingkar-lingkar di benak. Ada dorongan yang menghentak, tapi keraguan acapkali mendominasi. Keinginan dan ketakutan silih berganti. Memberi sedikit ruang untuk berpikir jernih, juga mendengar kata hati yang tak bisa dibohongi. Memberi celah agar cahaya itu bisa menerobos masuk. Melenyapkan pekat yang merajai hari. Aku Airin, yang teramat lelah dalam mencari kebenaran hakiki. 
            “Jilbab itu sunnah ya,” sesumbarku sok tahu. Padahal saat itu aku menjabat sebagai sekretaris remaja masjid di kampungku. Pernyataan asal-asalan yang malah menyesatkan banyak orang saat itu. Belakangan aku tersentak setelah mengetahui arti surat Al Ahzab:59. Aku berharap ada seseorang yang menoyor kepalaku keras dan berteriak “jilbab itu wajib!” di telingaku agar aku tersadar dari koma berkepanjangan. Setelah mengetahui bahwa jilbab itu wajib bagi muslimah yang sudah baligh, nyatanya ujian kemantapan terus menghadang.
            “Katanya jilbab itu pelindung agar muslimah tak diganggu. Tapi kenapa ada anak rohis yang pacaran? Kalau begitu, fungsi jilbab melindungi dari apa? Terus apa bedanya sama yang tidak berjilbab?” rentetan pertanyaan itu terus mengusik sepanjang waktu. Melahirkan keresahan demi keresahan yang menuntut jawaban dan penyelesaian. Aku tahu, hawa nafsu dan setan telah bersekongkol untuk menggagalkan niatku. Mengaburkan keingintahuanku dan menutup pintu rapat-rapat agar cahaya hidayah tak dapat masuk. Namun Allah Maha Baik. dengan rahman dan rahim-Nya Dia tuntun aku menjemput cahaya itu lewat seorang sahabat.
            “Syariat Islam itu sempurna. Namun manusia tak ada yang sempurna. Kalau kamu melihat seperti itu jangan salahkan agamanya ya. Dia hanya sedang berproses.”
            Akhirnya, di hari pertama semester kedua kelas 2 SMA, jilbab telah membalut kepalaku. Hari itu menjadi fase yang tak terlupakan. Seorang Airin yang baru, yang seakan terlahir kembali dengan semangat baru. Biarlah norak jika mengklaim diri serupa ulat buruk rupa, menjadi kepompong, lalu menjadi kupu-kupu cantik yang terbang melanglang buana.
            Tanggapan teman-teman sekelasku tak kalah hebohnya seperti saat menyaksikan konser boyband ternama. Ada yang bersorak, mendoakan keistiqomahan, juga berkomentar gado-gado.
            “Iiih jadi pangling deh. Selamat ya. Semoga nular ke yang lain.”
            “Aduduh, pipimu makin chubby tuh!”
            “Kesambet apa kau, Rin? Bisa berubah kayak ginih!”
            Aku hanya melengkungkan senyum. Menjadi center of interest selama sehari. Harus siap dengan segala konsekuensi atas pilihan berjilbab ini. Jilbab yang kukenakan memang masih jilbab minimalis yang belum rapi. Menceng sana sini dan membutuhkan banyak peniti. Panas, gerah, dan tak nyaman di badan. Namun tak ada iman yang tak diuji, bukan?
buku-buku penuntun hijrah

Juli 2004
            Delapan belas tahun usiaku ketika aku resmi terdaftar sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di kotaku. Jarak yang lumayan jauh dari rumah, membuatku harus ngekos. Jauh dari orangtua dan belajar mandiri mengatur semuanya.
            Setelah daftar ulang beres, aku diantar ayah menuju ke sebuah kos-kosan rekomendasi seorang teman. Bangunan kos itu baru, dua lantai, dengan total 12 kamar yang berderet dengan teras memanjang. Tak ada sekat ataupun pagar yang membatasi kos dengan ‘area luar’. Sebuah halaman agak luas untuk tempat jemuran, serta ada sebuah garasi kosong yang belum ada penutupnya. Sebenarnya tipikal kos semacam ini minim privasi. Hanya daun pintu kamar satu-satunya pembatas ruang pribadi dan ruang publik. Jarak kos ke fakultasku pun agak jauh. Tapi itu bukan masalah bagiku. Aku bisa jalan kaki setiap hari. Sekalian olahraga.
            Sebenarnya satu kamar kos untuk ditempati dua orang. Namun ayahku bersikeras agar kamar itu kutempati seorang diri. Alasannya agar aku nyaman dan privasi terjaga, apalagi bagi aku yang berjilbab. Ayahku rela membayar biaya sewa dua kali lipat untuk setahun.
            Maka terhitung sejak beberapa hari sebelum ospek, aku menempati kamar kosku. Dunia kampus adalah dunia baru yang menjadi bagian dari potongan puzzle hidupku dengan segala pernak-perniknya. Aku serupa katak kecil yang melongok-longok keluar sepenuh rasa ingin tahu. Ingin keluar tempurung. Meski selama ini jiwaku merdeka, tak terkungkung oleh apapun. Dari situ aku belajar, mengamati, dan berjuang agar terbiasa dengan pola hidup yang baru. Di sini aku bertemu orang baru dari berbagai daerah beserta karakter, bahasa, dan tentu penampilan yang majemuk. Mau tak mau, suka tak suka, aku akan tetap bersinggungan dengan mereka dalam keseharian. Aku bertekad akan menjaga diri sebaik-baiknya, menuntut ilmu dengan serius demi amanat orangtua, juga masa depanku.
            Nyatanya, komitmenku terhadap jilbab terus diuji.
            Kebanyakan teman-teman kos berpenampilan modis. Celana jeans, kaos/kemeja, dipadu dengan jilbab sampir atau jilbab lilit leher. Ya, akupun punya style berjilbab seperti itu. Jilbab itupun hanya ‘seragam’ saat ke kampus saja. Setelah sampai kos, kostum berganti celana pendek, kaos lengan pendek, maupun babydoll. Padahal cowok acapkali wara-wiri di area kos. Mulai dari kakak kelas, pacar-pacar si mbak kos, atau teman cowok yang ngerjain kerja kelompok. Seperti daun jatuh yang terombang-ambing oleh arus air sungai, akupun perlahan mengikuti kemana arus membawaku. Pada awalnya aku ingin melawannya, tapi aku tak berhasil. Keinginanku untuk memberi celupan warna hanya ekspektasi semata. Realitanya, aku ikut melebur. Dengan entengnya melepas jilbab, duduk manis di teras kos sambil baca buku. Ke warung sebelah dengan celana selutut dan kaos lengan pendek. Teramat cuek bebek dengan pandangan mata cowok-cowok yang nongkrong di sana.
            Suatu ketika aku sangat jengah dengan kejadian demi kejadian tak mengenakkan di kos. Di atas jam malam, ada cowok yang masih berhahahihi di teras. Aku kaget saat menemukan ‘cd’ cowok berjajar rapi di jemuran. Ada gitu cewek yang rela nyuciin cd pacarnya. Suami juga bukan. Nikah juga belum. Aku shock saat memergoki dua sejoli tengah asyik kissing malam-malam di garasi. Aku double shock saat tahu ada teman kos yang nginepin cowoknya di kamarnya. Sungguh sulit bagiku untuk berbaik sangka terhadap apa yang mereka lakukan di dalam kamar. Padahal mereka semua notebenenya berjilbab. Kemarahan seakan menggelegak di ubun-ubun tapi tak tahu kualamatkan pada siapa. Aku baru menyadari telah salah memilih tempat tinggal. Seketika aku teringat orangtuaku di rumah. Air mataku tumpah. Orangtua mengusahakan anak-anaknya bisa kuliah. Mereka berjibaku mencari biaya yang tak murah. Jika mereka tahu apa yang dilakukan anaknya nun jauh di sana, hati orangtua mana yang tak luka?
            “Ya begitulah keadaan tempat tinggalku, Na.” kututup cerita dengan kelegaan. Paling tidak, luruhlah sebagian beban. Neina, teman sekelasku itu menepuk punggungku.
            “Sabar ya. Solusinya ya pindah. Cari tempat yang lebih kondusif.” Neina menatapku serius. Matanya yang bening, senyum tulusnya, dan jilbab lebarnya membuatku nyaman.
            Tiap ada jam kosong atau pergantian jam, Neina selalu mengajakku dan beberapa orang teman ke kosnya yang dekat kampus. Kos Neina sederhana. Ada ruang tamu yang cukup untuk shalat jamaah para penghuninya. Kamar tidur berada di dalam dan hanya memiliki satu akses pintu keluar, jadi sangat terjaga privasinya. Teman-teman sekos Neina semuanya berjilbab rapi. Jilbabnya lebar terulur, rok dan baju longgar. Ada juga yang pakai gamis. Jika keluar kos, mereka memakai kaos kaki dan manset tangan. Anggun, cantik, dan terhormat. Maka benar bahwa konsep pakaian syar’i adalah yang menutup aurat. Semakin tertutup, semakin beradab. Sedang orang primitif zaman dulu hanya menutup aurat dengan daun atau kulit binatang. Jadi, jangan sampai deh kita kembali ke zaman purba.
            Oh iya, Neina dan mbak jilbabers itu baik, ramah, dan mudah akrab. Tatapan mereka sama sekali tak mengintimidasi. Tapi aku sendiri yang pekewuh saat bertandang ke kos Neina. Tepatnya malu, dengan pakaian serba minimalis yang kukenakan dengan dalih mengikuti tren. Semoga secuil malu yang masih tersisa ini menjadi indikasi bahwa aku masih punya iman.

2006
            Selama dua tahun ini aku mengalami pasang surut kehidupan. Sudah dua kali ini aku pindah kos sebab kos kedua terkendala air. Rumah kos ketiga ini menjadi tempat tinggal kedua sampai aku lulus. Alhamdulillah, teman-teman kos baik-baik dan banyak pula yang berjilbab. Kalaupun di kos tidak berjilbab kukira tak masalah karena kosku tertutup. Bapak ibu kos yang tinggal di rumah yang sama, sangat disiplin memberlakukan piket kebersihan hingga jam malam sehingga tak ada yang berani di luar rumah di atas jam 21.30. Kalaupun memang ada keperluan mendadak, harus izin kepada ibu kos. Ternyata aku malah lebih nyaman tinggal di kos seperti ini. Secara tidak langsung ada bapak ibu kos yang menjadi wali orangtua yang turut bertanggungjawab terhadap anak-anak kos.
            Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, pengetahuan agamaku sedikit demi sedikit bertambah. Akupun membeli buku tentang jilbab, motivasi, dan buku-buku untuk muslimah. Yah, meskipun kuakui masih tertatih mengaplikasikan dalam kehidupan. Aku sudah mulai membiasakan diri memakai rok jika ke kampus. Celana panjang hanya sesekali kukenakan saat bermotor ria. Jilbabku sudah lumayan terulur tapi memang belum sempurna. Proses berjilbab dan mempertahankannya sungguh tak mudah. Akhlakku harus terus di-upgrade agar seimbang dengan jilbab yang kupakai. Selalu ada tantangan demi tantangan yang menghadang setiap harinya. Yup! Aku berjilbab tapi masih suka kelimpungan ngumpet saat bapak kos naik ke lantai dua. Masih suka ngobrol cekikak cekikik sampai malam bersama teman kos. Masih iseng sweeping ke rektorat malam-malam. Nyorotin berpasang-pasang mahasiswa pacaran dengan sinar lampu motor, biar bubar acara pacarannya. Fakta yang menyedihkan sebenarnya yaitu banyak pasangan illegal itu ceweknya pakai jilbab tapi tak risih pelukan bak amplop dan perangko. Aku tak menyangkal bahwa aku juga pernah berboncengan motor dengan teman laki-laki sebelumnya. Itupun karena terpaksa. Jika menuruti kata hati, rasanya sungguh tak nyaman.
            Aku pernah mendengar celoteh para mahasiswa secara nggak sengaja. Mereka—dengan ceplas ceplosnya—membuka ‘kartu’. Sebuah pengakuan terang-terangan yang membuatku tercengang. “Kalo ada kesempatan, why not, Bro. Toh sama-sama mau. Nggak ada keterpaksaan. Kita mah fleksibel aja, ya nggak? tinggal ceweknya punya sikap atau nggak. hahaha!” tawa mereka pun berderai. Sebagai seorang perempuan, hatiku mencelos. Meski nggak semua laki-laki seperti itu (memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan), tetapi kalimat yang mampir di telingaku tadi benar-benar makjleb. That’s why, perempuan akan dihargai karena upaya kerasnya menjaga diri.

2007
            Mengapa aku terus diuji dengan ujian yang sama?
            Pertanyaan itu terus mengusikku sepanjang waktu. Aku terus mencari jawabannya lewat buku-buku, majelis ilmu, juga diskusi dengan teman-teman serta seniorku. Aku merenung selama berhari-hari, terus berfikir apakah ada sesuatu yang telah kulakukan yang membuat Allah tak suka? Lantas aku menemukan jawabannya. Ibarat anak sekolah, mereka harus menempuh ujian dulu untuk naik kelas. Jika tidak berhasil, harus mengikuti remedial atau mengulang. Itupun berlaku dalam kehidupan. Aku menyadari bahwa aku belum lulus.
            Apakah aku menyerah? Tidak! Tekadku sudah bulat untuk terus berjilbab. Aku malu pada para muslimah yang tinggal di negara islamophobia yang tak ramah jilbab. Mereka tetap bertahan di bawah tekanan dan intimidasi. Jika mereka bisa, mengapa aku tidak?
            Ya Allah, istiqomahkan aku meski diri ini adalah hamba yang penuh cacat cela.
            Semester tujuh ini aku menempuh program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sebuah pelosok dusun. Bersama tiga teman perempuan dan dua orang teman laki-laki, kami berenam ditempatkan di kediaman kepala desa bernama Pak Budi. Dia masih bujang, berkarakter tegas, ceplas-ceplos, dan aku tak suka sikapnya yang iseng. Seringnya juga suka main perintah sesuka hati. Pagi-pagi berteriak minta dibuatkan kopi, terkadang pakai menggedor pintu kamar sambil memanggil nama kami satu per satu. Pernah tiba-tiba membuka handel pintu kamar. Jadilah kami yang sedang tak memakai jilbab, kelabakan. Jika malam, rumah yang kami tempati acapkali menjelma basecamp. Dia dan para pemuda kampung begadang. Genjrengan gitar, kepulan asap rokok, dan tawa cekakakan mereka membuat kami terserang insomnia dadakan. Esok paginya, punting rokok, sachet kopi, dan kulit kacang berserakan. Otomatis kami yang membereskan.
            Sebenarnya banyak faktor yang membuat kami berempat memendam kesal. Namun kami sadar diri karena di sini hanya menumpang. Kami harus bersabar hingga satu setengah bulan ke depan. Kami sukses melaksanakan program-program kerja karena bantuan dia. Dia juga bermurah hati meminjamkan komputer dan printer untuk menunjang kinerja kami. Kami mengakui dan berterima kasih atas semua kebaikannya namun jika kami tak sejalan dengan pola pikir dan pendapatnya, dia menjadikan ancaman sebagai senjata utama.
            “Ngeyel!? Nggak kukasih nilai!”
            “Nurut sama aku, dapat nilai A. Slamet semuanya. Hayo pilih mana?!”
            Aaargh! Geregetan sekali rasanya. Tapi kami benar-benar powerless. Mau mengkritik juga percuma karena dia anti kritik. Mau mengadu kepada korlap, juga tak signifikan efeknya. Bisa-bisa malah kena kasus. Kami hanya diam, menahan tekanan, sakit hati, dan bertumpuk masalah. Beruntung warga desa sangat kooperatif dan care pada kami sehingga kami masih memiliki pelipur. Hal itu yang membuat kami kerasan berada di sana, juga karena kebersamaan dan kekompakan kami.
            Namun, satu hari itu takkan pernah kulupa seumur hidupku. Hari terburuk sepanjang catatan sejarah hidupku. Hari dimana aku menjadi gadis bernasib malang.
            Pagi itu, kami berenam tengah menghadap layar komputer. Melihat satu per satu file-file foto kegiatan kami. Pak Budi nimbrung, kelihatannya mood-nya sedang bagus. Dia ikut bercanda dan mengomentari foto-foto itu dengan ejekan garing. Dua teman laki-laki saling nyeletuk. Kami saling menimpali dengan ejekan.
            Saat melihat foto Pak Budi terpampang besar di layar komputer, aku nyeletuk, “Ughh, siapa sih ini!” Tanpa diduga, yang bersangkutan itu menarik jilbabku dari belakang hingga lepas, sambil tertawa-tawa. Rambutku terburai. Dua teman laki-laki kaget. Tiga teman perempuan shock. Dan aku nyaris pingsan. Beberapa detik kemudian aku segera sadar. Kupakai jilbabku kembali, berlari masuk kamar, dan menangis. Ketiga temanku menyusul dan menenangkanku. Aku benar-benar marah. Dadaku bergemuruh oleh rasa benci. Dia pikir, hal itu lelucon konyol. Itu jelas-jelas pelecehan. Ingin rasanya menghujaninya dengan umpatan tapi buat apa? Toh waktu tak bisa kembali.
            Hikmah yang bisa kuambil adalah aku harus menjaga lisan meskipun bercanda. Meski sebenarnya itu nggak fair buatku. Bercanda ya balas canda. Nggak boleh menyerang fisik. Ugh! Sama sekali nggak elegan. Akupun sengaja mengunci mulut selama berhari-hari di depan dia. Mungkin dia ‘ngeh’ tapi sikapnya cuek seperti tak pernah terjadi apa-apa. Boro-boro minta maaf. Aku tak peduli dia menganggapku sok suci, norak, dan sebagainya. satu hal yang kuyakini adalah barangsiapa menanam, dia akan menuai. Aku tak sedikitpun ragu.
semoga istiqomah berjilbab syar'i

Awal tahun 2008
            Tahun ini aku sedang menyusun skripsi. Hanya ada beberapa mata kuliah yang kuambil. Untuk mengisi waktu luang, aku rajin berburu lowongan pekerjaan di koran. Insyaa Allah sebentar lagi lulus. Aku bertekad untuk terjun di dunia kerja dari sekarang. Jadi, setelah lulus nanti tak ada waktu terbuang untuk menganggur.
            Alhamdulillah, ada sebuah bimbel besar di tengah kota sedang mencari tenaga pengajar part time. Merasa memiliki kualifikasi, aku mencoba melamar. Setelah mengikuti serangkaian tes dan wawancara selama hampir seminggu, aku dinyatakan diterima. Rasanya seperti mimpi bahwa aku akan bekerja di sebuah bimbel ternama.
            Ketika hari pertama masuk, aku berkenalan dengan para guru, staf, dan front office. Aku terkesiap. Hanya aku seorang diri yang berjilbab di sini. Belakangan aku tahu bahwa kebanyakan dari mereka adalah non muslim. Muslim ada tetapi hanya bisa dihitung dengan jari. Murid-muridnya yang datang dan pergi silih berganti itu juga hampir tidak ada yang berjilbab. Kali ini keimananku kembali diuji. Mungkin Allah belum memberi nilai baik atas kasus pak kades tempo dulu. Trauma dan kebencian masih membekas dalam ingatan. Sulit bagiku untuk mengikhlaskan dan memaafkan.
            Lantas aku menjadi galau. Akankah aku terasing di sini? Aku takut tercebur ke dalam lingkungan tak kondusif seperti kos pertamaku dulu. Aku khawatir tak istiqomah berjilbab. Dan Allah Maha Memberi Solusi. Pikiranku terbuka setelah membaca sebuah sirah tentang perempuan kulit hitam yang ingin sembuh dari penyakit ayan. Perempuan itu khawatir kalau saat kambuh penyakitnya, auratnya terbuka. Lantas dia mengadu dan meminta Rasulullah mendoakan kesembuhan untuknya. Rasulullah yang mulia nan bijak pun memberi opsi.
            “Jika kau mau, engkau bisa bersabar dan balasanmu adalah surga. Tetapi jika kau mau, aku bisa mendoakanmu lalu engkau sembuh.”
            Perempuan itu menjawab, “Aku memilih bersabar tetapi aku takut jika terbuka auratku. Maka doakanlah aku agar tak sampai terbuka auratku.” Maka Rasulullah pun mendoakannya.
            Hatiku kembali hempas setelah membaca kisah itu. Betapa teguh perempuan itu menjaga komitmennya dalam menutup aurat. Telingaku serasa dijewer. Maka kuteguhkan hati bahwa aku akan menjaga jilbabku baik-baik sebagaimana jilbab melindungiku dari segala gangguan. Aku tak takut menjadi berbeda. Aku berusaha bergaul dan membaur meski tetap berada dalam koridor yang diperbolehkan syariat. Alhamdulillah, langkahku dimudahkan.
belajar berjilbab syari sejak kecil

Awal 2009
            Aku lulus kuliah tepat waktu. November 2008 aku wisuda sebagai sarjana pendidikan. Bimbel lama tempatku bekerja gulung tikar. Allah memberi ganti dengan bimbel islami.
            Ritme kehidupanku berangsur normal. Kerikil kecil di perjalanan adalah sebah kewajaran agar aku senantiasa berhati-hati dan melibatkan Allah dalam setiap langkah. Ujian  silih berganti, untuk menguji bahwa aku layak naik kelas. Bahwa aku bukan lagi mahasiswi unyu-unyu berjilbab bongkar pasang sesuai mood dan cuaca. Bukan lagi anak kos yang dengan cueknya berkaos you can see dan ngibrit saat bapak kos melakukan sidak kebersihan tiap kamar. Bukan lagi cewek centil yang ribet dandan demi seorang gebetan. Aku ingin menjadi Airin yang terus berproses dalam kebaikan, dalam ketaatan. Itu sebabnya aku membutuhkan sosok yang terus menguatkan. Tapi siapa ya? Neina sudah tak berada di kota ini. Dia sudah mudik ke kampung halaman. Membangun mimpi dan berkiprah untuk desanya.
            Tak ada yang menduga, kejutan datang dari seorang teman yang pernah tinggal sekamar, tidur sebantal, sehidup sepenanggungan selama satu setengah bulan. Dia Anita, salah satu teman seposko saat KKN lalu. Kami memang masih keep in touch meski jarang bertemu usai pelepasan KKN. Dan kini, dia mengajakku untuk bergabung dalam kajian yang sudah dia ikuti. Kulihat penampilan Anita sudah jauh berbeda dengan saat aku mengenalnya dulu. Jeans gombrong telah berganti rok lebar. Baju press body sudah pensiun dini. Sebagai gantinya, tunik akrab dalam kesehariannya. Jilbabnya syar’i. Masih ditambah kaos kaki membalut kedua kaki. Rasanya aku ingin merutuk pada diri: Airin, where have you been?
            Melalui bimbingan seorang murobbiyah, bersama Anita, aku berproses menjadi muslimah yang ingin kaffah. Sungguh semua tak semudah ucapan. Perlu tekad kuat dan doa tiada putus. Tak mengapa memaksa diri sebab semua membutuhkan pembiasaan. Agak ribet pada awalnya. Pakai ciput, kaos kaki, daleman celana panjang. Bikin gerah, gatal, dan nggak pede. Ketidakpedean yang sejatinya karena takut mendengar komentar orang. Eh, masih ditambah pembengkakan anggaran. Untuk berhijrah penampilan memang butuh modal hehe. Uang bisa dicari namun kesempatan bisa pergi tanpa mau menghampiri lagi. Tak ada yang paling memilukan selain muslimah yang baru sekali menutup aurat tapi dengan kain kafan. Oleh karenanya aku harus kuat melawan hawa nafsu dan bisikan setan. Aku yakin Allah memampukan orang-orang yang berhijrah dan istiqomah dalam ketaatan. Sami’na wa ato’na. Aku mendengar dan aku taat. Serupa Asma binti Abu Bakar yang dinasihati Rasulullah tentang menutup aurat yang benar. Asma taat. Tak berkomentar, apalagi protes. Tak banyak drama sepertiku yang harus dijewer dulu, baru berbenah, kembali ke rel yang semestinya. Drama jilbab dari tahun ke tahun yang justru memberiku limpahan pelajaran berharga.
            Islam sempurna. Sedang manusia tak sempurna. Tapi tugas kita adalah terus menyempurnakan. Semoga hijrah fisik ini lantas diikuti oleh perbaikan akhlak dan meningkatnya kualitas iman dan taqwa yang sebenar-benarnya.
            Wahai muslimah, serupa bunga, kita adalah pemilik segala keindahan. Bunga yang tak bisa menahan semerbak wanginya ke segala penjuru. Namun kita bisa memilih serupa bunga mawar, yang indah mewangi namun memiliki duri untuk menjaga kesucian diri. Sebab jilbabku adalah identitasku. (true story)

*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #journeytosyari by @ava.lable@ava.lable

Komentar

martha mengatakan…
Bagian ditarik jilbabnya sampe lepas bikin aku ikut shock mba...
Arinda Shafa mengatakan…
Hiks. Nyesek mbak kalo inget. Semoga beliau tobat
Yose Suparto mengatakan…
BROKER TERPERCAYA
TRADING ONLINE INDONESIA
PILIHAN TRADER #1
- Tanpa Komisi dan Bebas Biaya Admin.
- Sistem Edukasi Professional
- Trading di peralatan apa pun
- Ada banyak alat analisis
- Sistem penarikan yang mudah dan dipercaya
- Transaksi Deposit dan Withdrawal TERCEPAT
Yukk!!! Segera bergabung di Hashtag Option trading lebih mudah dan rasakan pengalaman trading yang light.
Nikmati payout hingga 80% dan Bonus Depo pertama 10%** T&C Applied dengan minimal depo 50.000,- bebas biaya admin
Proses deposit via transfer bank lokal yang cepat dan withdrawal dengan metode yang sama
Anda juga dapat bonus Referral 1% dari profit investasi tanpa turnover......

Kunjungi website kami di www.hashtagoption.com Rasakan pengalaman trading yang luar biasa!!!

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti