Langsung ke konten utama

Review Novel Gia, The Diary of a Little Angel


Novel Gia karya Mbak Irma Irawati
Judul                    : Gia, The Diary of a Little Angel
Penulis                 : Irma Irawati
Penerbit              : Bhuana Sastra
Tahun Terbit      : 2018
Jumlah Halaman: 140 halaman

Belajar Ketabahan dari Seorang Cancer Survivor

Nazila Apregia Reigane. Nama yang indah untuk seorang gadis kecil yang akrab disapa De Gia. Bungsu dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Putri dari seorang kiai pengasuh ponpes Darussalam, Bapak Fadli  Yani Ainusyamsi dan istrinya, Bunda Chusna Arifah. Gia memanggil orangtuanya dengan panggilan kesayangan yaitu apah dan mamah. Keceriaan dan keberadaan Gia serupa cahaya bagi setiap orang.

Di usianya yang baru menginjak 10 tahun, Gia merasakan tubuhnya cepat lelah, hingga beberapa kali absen untuk mengepel teras. Dia juga merasa lemas saat pelajaran olahraga yang menuntutnya untuk berlari. Padahal dia sudah minum vitamin juga. Meskipun begitu, Gia menjadi pahlawan yang cukup disegani di kelas. Keberaniannya membela teman-teman yang dinakali, membuat teman-temannya sedih jika Gia tidak masuk sekolah. Gia boleh saja perkasa tapi hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Melihat teman yang kesusahan, hatinya tergerak untuk membantu. Gia rela membobol celengannya untuk mengambil sebagian uang tabungannya. Uang itu akan dibelikan tas sekolah untuk teman sekelasnya yang sudah rusak. Gia juga kepikiran untuk membeli kado untuk kakak sepupunya yang baru saja melahirkan. Betapa mulia hati Gia.

Namun, sakit itu datang. Demam tinggi, disusul muntah-muntah, wajahnya juga pucat. Diagnosis dokter, leukosit Gia tinggi dan ada riwayat flek paru. Jadilah Gia harus minum obat setiap pagi selama beberapa bulan. Dokterpun berpesan agar Gia lebih banyak istirahat dan tidak boleh terlalu capek. Di tengah deraan rasa sakit, Gia biasa menulis diary. Beginilah tulisan Gia dalam diary-nya.

Dear Diary,
Cairan infus di tangan kananku lagi-lagi macet. Artinya, suster akan kembali menusukkan jarum suntik. Aduh, aku capek. Ditusuk sana sini.
Tak terasa air mataku meleleh saat aku menahan nyeri. Tapi aku buru-buru menghapusnya. Takut kelihatan mamah dan apah. Aku tak mau Mamah melihatku kesakitan. Aku juga sebetulnya capek kalo nangis terus. Capek nangisnya, capek juga sakitnya. Ya udah aku pasrahin aja sama Allah.

Saat terbaring sakit, yang dirindukan Gia adalah kebersamaannya dengan keluarga dan teman-temannya. Tapi apalah daya, sakit Gia semakin parah sehingga harus dirujuk ke rumah sakit di Bandung. Perjalanan Ciamis-Bandung ditempuh selama 4 jam, ditambah macet sehingga semakin lama. Selain itu, dengan diantar mamah dan apah, Gia melewati serangkaian pemeriksaan. Mereka mengitari rumah sakit demi rumah sakit hingga akhirnya dirawat di RS Advent yang fasilitasnya lengkap dan ada dokter spesialis hematologi pula. Karena kelelahan di perjalanan, Gia sampai pingsan. Setelah kondisinya pulih, baru dilakukan pemeriksaan lebih intensif. Dokter spesialis itu mengatakan bahwa Gia mengidap AML (Acute Myleoid Leukemia) yaitu sejenis kanker saat bagian dalam yang lembut dari tulang tertentu menyebabkan myeloblas (yaitu sejenis sel darah putih), sel darah merah, atau platelet yang tidak normal. AML termasuk penyakit langka dan biasanya diderita orang dewasa.

Setelah dioperasi, Gia melewati serangkaian perawatan, juga kemoterapi yang membuat rambut indahnya rontok. Banyak doa yang dilangitkan dari banyak pihak untuk kesembuhan Gia. Teman-teman Gia pun menitipkan surat-surat untuk memotivasi Gia agar tetap semangat. Selang beberapa minggu pun Gia sudah diizinkan pulang. Kehadiran Gia sudah dirindukan banyak orang. Selain itu Gia juga akan merayakan ulangtahunnya yang ke-10. Gia begitu bahagia tersebab kehadiran orang-orang yang dicintainya. Tak ada yang tahu bahwa ulang tahun itu menjadi ulang tahun terakhir bagi Gia.

Beberapa bulan setelahnya, kondisi Gia semakin melemah. Sebentar menggigil, sebentar kegerahan. Gadis kecil yang biasa tabah dan tak pernah mengeluh itu berbisik pada Mamah bahwa dia sudah tidak kuat lagi. Mamah pun terus membimbing Gia menyebut nama Allah hingga Gia menghembuskan napas terakhirnya. Ribuan orang berduka atas kepergian, malaikat kecil yang ceria dan suka menolong. Namun, tak seorangpun mampu melawan ketetapan-Nya bahwa tugas Gia di dunia telah selesai.

Membaca novel ini, hati saya mengharu biru. Ada rasa sedih yang menelusup sanubari. Namun itu cara Allah menyayangi De Gia dengan memanggilnya di usia sebelum baligh. Novel ini memberi pelajaran berharga akan arti pentingnya keluarga, kerabat, dan teman-teman di sekitar kita. Mereka adalah rezeki luar biasa. Sosok Gia memberikan inspirasi untuk terus bertahan menjaga ikhlas, menerima ketetapan dengan tabah, juga keinginannya untuk selalu memberi dan berbagi. Meski sudah tiada, De Gia akan selalu berada di hati orang-orang.

saya mbrebes mili saat membaca saat-saat terakhir Gia. Bahkan saking kepo-nya saya cari instagramnya @degiareigane. Saya pun mengijinkan anak saya yang berusia 7.5 tahun untuk membaca novel Gia untuk memetika hikmah berharga berupa kesehatan yang terkadang lupa untuk disyukuri.

Selamat jalan, De Gia. Kami—orang yang baru mengenalmu melalui kisah—turut mendoakan kebaikan untukmu dan keluarga besar yang ditinggalkan. Semoga engkau menjadi tabungan dan jalan surga bagi Mamah dan Apah. Aamiin yaa robbal alamiin.


Terima kasih mbak Irma Irawati, telah menulis kisah nyata yang menggugah dan menginspirasi. Semoga menjadi ladang amal yang pahalanya terus mengalir. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti