Langsung ke konten utama

'Air Pancuran' dimuat di Ah Tenane Solopos



Air Pancuran

                Lady Cempluk dan Tom Gembus hendak pergi ke kondangan seorang teman. Anak semata wayangnya, Genduk Nicole diajak ikut serta. Penampilan mereka bertiga necis, rapi, dan wangi. Pakai seragam batik keluarga, lagi. Bersama rombongan, mereka naik mobil bersama-sama ke lokasi si empunya hajat. Meskipun berdesak-desakan, tak apa-apa. Malah ramai dan terasa kebersamaannya.
                Di dalam mobil, Genduk Nicole yang masih TK itu menjadi pusat perhatian. Bocah gendut berkuncir dua itu dicowel-cowel pipinya dan diciumi oleh ibu-ibu secara bergantian hingga pipinya berwarna-warni terkena noda lipstik.
                “Ih, gemes!”
                “Lucu banget ya,” kata mereka saling menimpali.
                Awalnya, Lady Cempluk bangga anaknya disukai banyak orang tetapi begitu melihat muka anaknya yang berubah serupa ondel-ondel, dia menjadi kesal. Didudukkannya Genduk di pangkuannya hingga bocah itu tertidur.
                Setelah menempuh dua jam perjalanan, sampailah rombongan itu ke si empunya hajat. Wajah Genduk sudah tak karuan karena kusut, terkena iler, dan coreng-moreng noda lipstik tadi. Lady cempluk berinisiatif untuk mencari air untuk membasuh muka Genduk.
                “Lha mau nyari air dimana tho, bu? kita sudah ketinggalan rombongan,” kata Tom.
                Tiba-tiba, Gendhuk melihat air pancuran yang mengucur deras dari tembok sebuah rumah gedong. Tanpa ba bi bu, Gendhuk berlari mendekati pancuran seperti orang yang berhari-hari hidup di gurun. Dia langsung mencuci mukanya yang kotor dan kumur-kumur segala. Dari jauh, Lady Cempluk menjerit dan menepuk jidatnya.
                “Oalah, nduk. Itu memang air pancuran tapi pancuran comberan!” jeritnya sambil menjauhkan anaknya dari air yang mengucur. Ternyata Cempluk cuci muka dari saluran pembuangan rumah itu. Diendusnya wajah dan baju anaknya yang basah.
                “Huek! Bau bacin!” pekik Lady Cempluk hampir muntah.
                Dengan terpaksa, Tom membeli sebotol air mineral ukuran besar untuk membasuh muka Genduk. Bocah itu malah cengegesan. Oalah, pancuran comberan bikin kapiran!

Pengirim: Arinda Shafa




Komentar

Wahyu Widyaningrum mengatakan…
Keren, ngakak guling2 aku bacana Mbak :D
Arinda Shafa mengatakan…
wkwkwk true story yang kumodifikasi dikit mbak. dulu waktu kecil pernah ngalamin cuci muka pake 'air pancuran'. sampe di marahin ibuk :D

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti

Puisi-Puisi Arinda Shafa

Puisi-Puisi Arinda Shafa Puisi Perpisahan dari siswa untuk guru Janjiku Pada Bunda Guru Tiga tahun lalu, aku terpaku Termangu-mangu Terperangkap di kelas asing, teman-teman baru, Dan ruang gedung yang bisu Melongok-longok dengan beribu ingin tahu Pada sosok guru berkemeja dua saku Oh! Langkahmu tegap tanggalkan ragu Senyummu cerah, rekah, merona-rona Serupa rumpun-rumpun tetaman bunga Beruntai-untai ilmu menyeruak ke segala penjuru Peradaban tegak di pundak punggungmu Kami berkelana,tersesat di tempat-tempat jauh Imajinasi, inspirasi, buncah bergemuruh Keseriusan, ditingkah canda nan gaduh Namun, waktu meniup bulir-bulir kenangan Serupa kuncup-kuncup benangsari dihembus angin siang hari Dedaun luruh, hempas menyedihkan di atas lapangan upacara Di sana, ribuan kisah terangkai tercipta Seelok kilau mutiara raja brana Wahai guruku, sang penggubah peradaban Kan kutampatkan kata-katamu di atas nampan pualam Teguh janjilah sudah, b