Langsung ke konten utama

Serunya Naik K.A Kedung Sepur Ramai-Ramai



               
Bismillahirrahmaanirrahim...

Sabtu, 16 Januari 2016
                Ini edisi travelling dadakan. Betapa tidak. Sore sebelumnya, seorang teman mengajak kami untuk nyobain kereta api Kedung Sepur. Jamnya? Belum pasti. Saya bilang naiknya siang saja karena paginya saya ada agenda rutin.
            
   Bakda shalat subuh, suami bilang kalau K.A Kedung Sepur cuma beroperasi jam 6.15 pagi sama jam 4.10 sore. Yaa, betapa sok tahunya saya. Kamipun mengambil keputusan kilat bahwa pagi ini juga kita mau naik kereta dengan pertimbangan bisa melihat pemandangan. Kalau sore, kepentok shalat magrib. Trus pulangnya udah gelap. Setelah ijin dari acara rutin mingguan, saya langsung menghubungi teman saya. Alhamdulillah. Fix.

              
  Anak-anak dimandikan abinya subuh-subuh. Sedang saya rempong dengan menyiapkan apa-apa yang mau dibawa. Untung anak-anak sudah agak besar. Bukan batita yang harus bawa diapers, termos, mangkuk sendok, waslap, baju ganti, dan properti bayi lainnya. Hihi.
                Jam 5.30 kami berdelapan (2 bapak, 2 emak, 3 balita, dan 1 bayi) berangkat menuju stasiun Poncol. Beruntung jalan masih sepi sehingga kami bisa sampai Poncol jam 6. Suami saya langsung mengantri di loket. Kami sungguh beruntung masih mendapatkan tiket terakhir Kedung Sepur dan langsung naik ke dalam kereta. Harga tiketnya murah meriah lho. Cuma sepuluh ribu per orang sekali jalan. Balita berusia 2 tahun ke atas, sudah dikenakan charge. (jam keberangkatan terlampir di foto yaa )
                K.A Kedung Sepur adalah kereta api komuter kelas eksekutif satu-satunya yang dioperasikan oleh Daop 4 Semarang. Kereta ini sudah diresmikan saat ultah PT KAI, 28 September 2014 lalu dengan melayani rute Semarang-Ngrombo (wikipedia.org)
         
       Ini adalah pengalaman pertama bagi Syamil. Ya, naik kereta api yang sesungguhnya. Bukan hanya kereta api wisata. Bagian interior kereta apinya bersih dan tampak baru dengan warna jok paduan biru cerah dan putih. Kami langsung mencari seat yang nyaman, yang bisa duduk berhadapan.
                Tepat jam 6.15, kereta api berangkat. Anak-anak bersorak-sorak riang dan menyanyikan lagu ‘kereta api tut tut tut’ yang legendaris itu sambil merapat di depan jendela. Kedung Sepur yang kami tumpangi ini berjalan agak lambat melewati perkampungan dan areal persawahan yang silih berganti. Roda kereta api yang beradu dengan rel menimbulkan suara khas. Lama-lama, kereta melaju dengan kecepatan yang lumayan kencang. Walaupun nggak secepat sereta Shinkanzen hihi.
                Melihat rel yang panjang dan terdapat batu kerikil di sekitarnya, mengingatkan saya pada canda bapak saya dulu.
                “Coba tebak, kenapa di sekitar rel selalu dikasih batu kerikil?” tanya bapak.
              
  Saat itu saya serius berpikir dan akhirnya menyerah sebab beberapa jawaban saya salah.            
                “Jawabannya adalah, karena kalau di sekitar rel dikasih beras, nanti dipatuki ayam.”
                Saya gondok luar biasa saat itu, tapi sekarang bisa tertawa geli.
Kurang dari 2 jam, kereta sudah sampai stasiun Ngrombo. Karena kami sudah beli tiket pp, petugas tak mengizinkan penumpang turun. Padahal kami sudah kelaparan. Belum sarapan, euy! Hanya ada sedikit camilan dan air minum yang tersisa. Walhasil, kami harus menahan lapar selama 2 jam ke depan. Dan hebatnya, anak-anak selalu bisa menikmati perjalanan dengan penuh keceriaan. Berlari kesana-kemari, tertawa, bernyanyi, minta difoto, dan bermain apa saja. Setelah kembali ke stasiun Poncol, si bungsu malah tak mau turun.
Hari makin terik saat kami melangkah keluar stasiun. Masih jam 10 pagi. Masih banyak waktu untuk jalan-jalan. Lupakan sejenak rendaman cucian yang bau apek di rumah. Hehe.
Untuk mengisi lambung yang kosong, kami mampir di RM PadangPlus yang menyajikan hidangan khas Minang menggunakan conveyor yang bisa berputar. Harga tiap menu ditandai dengan warna mangkok. Unik dan lebih higienis.
Setelah nge-branch alias breakfast and lunch, destinasi selanjutnya adalah visiting Puri Maerokoco. Sepuluh tahun lebih hidup di Semarang, saya sama sekali belum pernah ke sana. Where have u been gitu lho. Puri Maerokoco mirip dengan TMII nya Jakarta versi mini. Terdapat rumah-rumah adat tiap kabupaten di Jawa Tengah yang juga dilengkapi dengan taman, kolam, hutan bakau, dan mainan anak-anak. Hanya saja, objek wisata itu kurang begitu terawat.
Bakda duhur, setelah semuanya lelah, kami memutuskan untuk pulang.
What a wonderful day. Baru ngeh bahwa jalan-jalan kami hari ini adalah Triple P: Poncol, PadangPlus, dan Puri Maerokoco. Hihi.
piknik ke destinasi terdekat pun tak kalah seru kan?! Yuk, ke Semarang! ^^

 












               
               

Komentar

Hidayah Sulistyowati mengatakan…
Oh, kalo gitu mending jangan beli tiket terusan ya, hihiii...
Ika Puspita mengatakan…
Jadi pengen nyobain deh...tapi kok pagi2 bener ya
Arinda Shafa mengatakan…
Mb hidayah: kalau mau jalan2 dulu sih gpp mbak. Bisa naik kereta sore. Tp kmrn wktu saya naik tu dr ngrombo ke semarang penuh mbak. Untung udh beli giket pp hehe.
Mbak ika: iya emg mruput . gasik mbak hi
hi

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti