Langsung ke konten utama

Bincang Literasi dan Milad Ke-3 Penarawa bersama Pak Murbandono


Bismillah...
Pekan ini saya pulang kampung. Sungguh sebelumnya saya galau karena saya dan suami punya dua agenda yang berbeda di hari Minggu, 24 Januari kemarin. Karena saya sudah homesick dan suami mengijinkan, jadilah saya pulang. Suami ikut pulang sebentar lalu hari minggunya, suami mengikuti seminar wirausaha di masjid Baiturahman Semarang.
Sesuai rencana yang sudah kami sepakati di Grup WA Penarawa, kami (para anggota-red) berencana silaturahim sekaligus memperingati milad penarawa yang ke-3 di tempat yang berbeda dari biasanya. Berbeda tempat dan suasana, tentu saja. Milad penarawa yang perdana di Candi Gedongsongo. Yang kedua di rumah Bu Maria Utami. Keduanya ramai dan meriah. Penuh kejutan. Sedang suasana milad penarawa ketiga ini belum bisa saya ramalkan.
Setelah say goodbye pada si sulung yang saya titipkan pada embahnya, saya beranjak menyeberang. Saya agak sedih melihat Bu Yanti, Pak Joko, dan mas Arnold termangu di halte pangsar Ambarawa. Saya pikir ada serombongan teman-teman di sana yang bercanda dan ngobrol sembari menanti yang belum datang. Sembari menggendong si bungsu, saya berlari kecil membawa sekeranjang riang. Dan ooh, hanya kami berempat yang akan naik angkot bersama. Tak apa. Mbak Wahyu yang berniat ikut, belum diijinkan-Nya bergabung (sabar ya Mbak. salam sayang buat Hero)
Sepanjang perjalanan Ambarawa-Salatiga-Getasan, saya duduk dalam diam. Mengamati sekeliling sembari tetap konsen pada si bungsu. Sudah lama sekali saya tidak naik angkot dan minibus seperti ini. Si bungsu tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Menunjuk-nunjuk sesuatu dan bertanya ini itu sambil mulutnya tak berhenti mengunyah. Sedang saya masih juga penasaran, bagaimana rupa tempat dan juga sosok narasumber yang akan kami silaturahimi.

Ya, saya selalu senang mendapat pengalaman baru.
Bus berderak-derak, batuk-batuk asma ketika jalan menanjak. Saya celingukan ketika minibus berhenti di pasar Getasan. Dingin menyergap begitu keluar dari badan bus. Saya langsung sumringah melihat ‘penampakan’ teman-teman yang lain.
Beberapa menit kemudian, saya tercengang ketika melewati medan yang mirip dengan tanjakan menuju candi Gedongsongo. Berkelok-kelok, dengan tanaman jagung, kol, atau cabai di kanan kirinya. Dan tibalah kami semua di sebuah rumah pertama alias paling pinggir. Sebuah rumah sederhana di dusun Ngagrong, desa Wates, kecamatan Getasan yang bercat putih dengan tanaman hias dan bebatuan di halamannya. Itulah kediaman Pak Murbandono. Seorang mantan penyiar Radio Hilversum kelahiran  Ambarawa yang telah puluhan tahun tinggal di Belanda dan kembali ke Indonesia tahun 2008 silam.
Setelah menguluk salam, kami disambut oleh sosoknya yang ramah dan sangat welcome. Kami dipersilakan masuk ke dalam ‘singgasana’nya yang membuat kami takjub. Ruangan berukuran sekitar 4 x 3 meter persegi itu membuat saya terpesona. Ribuan buku bersusun-susun rapi di rak-rak tinggi sehingga jika ingin menjangkaunya, harus menggunakan tangga kecil. Dari sekian banyak buku yang ada di sana, ada manuskrip novel Mira W yang asli. Masih diketik manual dengan mesin ketik. Ah, saya jadi malu. Betapa tangguhnya penulis-penulis jaman dulu. Meja besar yang di atasnya terdapat laptop, speaker, kamus-kamus tebal, dan kaset-kaset lama. Ada pemutar musik jaman dulu, gitar, biola, dan keyboard. Kalau saya gambarkan dunia Pak Murbandono dalam 3 kata adalah buku, musik, dan film. Ah, semoga saya tidak sedang sok tahu hehe. Dan satu hal yang membuat saya benar-benar jatuh cinta adalah sebuah jendela. Ya, dari situlah view yang menakjubkan terhampar menyejukkan pandang. Gunung Telomoyo tampak dekat, seakan berjarak sepelemparan batu saja dari jendela. Gunung Gajahmungkur juga nampak anggun dari kejauhan. Saya membayangkan andai saya memiliki rumah dan pekarangan samping yang view-nya cantik itu, tentu saya akan minta suami untuk membuat kolam renang. Hihi.

Kata beliau, kami semua ini tengah berada di dada Gunung Merbabu dan diapit oleh delapan gunung. Pantas saja sedingin ini. Kabut menebal, hawa semakin dingin, air seperti baru saja keluar kulkas, dan saya makin intens bersin-bersin. Ah, benar-benar setting yang tak kami duga sebelumnya. Menurut saya, tempat ini sungguh sempurna untuk berkontemplasi, menggali inspirasi, menemukan ide-ide cemerlang, dan mengeksekusinya menjadi karya. Dan benar saja. Selama hampir tiga tahun berada di dusun Ngagrong, beliau menyelesaikan tugas-tugas manuskripnya.
Rendezvous itu diawali dengan banyak pertanyaan yang random. Gado-gado gitu deh. Memang konsep acara ini acara santai. Jadi, Pak Murbandono yang sempat membesarkan Sanggar Pratiwi yang sempat nge-hits tahun 80-an ini, sangat antusias menjawab pertanyaan demi pertanyaan kami. Beliau menceritakan penggal-penggal hidupnya di Ambarawa, lalu ‘terdampar’ di negeri Belanda, juga awal karirnya di media audiovisual sebagai seorang produser juga penulis yang aktif menulis di banyak media lokal maupun nasional.
Sehubungan dengan dunia literasi, beliau yang lahir tanggal 3 Juni, 67 tahun silam, menyayangkan minat baca generasi muda yang masih rendah. Padahal kunci ilmu adalah banyak membaca. Membaca adalah amunisi dalam menulis. Sedang menulis itu sendiri adalah pekerjaan intelektual plus. Tak mungkin menulis tanpa diawali membaca. Ah, dulu saya pernah membaca sebuah artikel bahwa membaca adalah terapi dari stress dan dapat memperlambat kepikunan. Saya membuktikan sendiri bahwa Pak Murbandono yang hampir kepala-7 terlihat masih sehat, fresh, dan selalu bersemangat.
Dalam konteks komunitas kepenulisan, keberadaan komunitas menulis adalah sebagai pemicu semangat dan sharing ilmu di antara anggotanya. Namun, pekerjaan menulis itu adalah pekerjaan ‘sendirian’. Dalam arti seseorang yang hendak menulis, ya menulis di atas kertas atau duduk di depan komputer, mengerahkan segenap tenaga dan memeras otak untuk menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan. Nah, untuk memperkaya jiwa, seorang penulis tak melulu harus menulis, khusyuk, berminggu-minggu tak mau diganggu, tapi dia harus bersosialisasi, berlibur, jalan-jalan, dan berdiskusi untuk mengasah kepekaan sehingga memberi warna dalam karyanya.
Karya beliau yang sampai saat ini masih cetak ulang ke-50 berjudul ‘Membuat Kompos’. Beliau mengunggah video di Youtube berjudul ‘Seksualitas Indonesia’, menerjemahkan novel, menulis di koran The Jakarta Post, dan juga menulis puisi.
Pak Murbandono yang fasih berbahasa Indonesia, Jawa, Inggris, dan Belanda, berpesan pada kami bahwa mastering language itu faktor penting. Minimal bahasa inggris harus dikuasai agar kita juga bisa membaca karya-karya penulis luar.
Hmm... noted it!

Acara inti dimulai selepas duhur. Setelah berdoa bersama, kue tart dipotong. Sembari menyantap kue tart, beberapa teman mencoba membawakan puisi karangan pak Murbandono. Setelah itu, dilanjutkan acara tanya jawab santai.
Satu hal yang membuat saya mendadak baper adalah kata-kata Pak ketua bahwa ulang tahun penarawa kali ini adalah ulang tahun tersunyi. Berada di tempat yang hening jauh dari hiruk-pikuk, menyatu dengan alam, dengan hanya belasan orang yang datang. Hiks. Tapi, bukankah sesekali kita perlu suasana berbeda, Pak ketua? Yang antimainstream dan berkesan. Dan bagi saya, semua ini sangat berkesan bagi saya. Serius.
Semoga Penarawa makin jaya. Makin merentangkan sayap. Makin menebar manfaat. Semoga harapan untuk melahirkan penulis-penulis mayor yang karyanya diakui khalayak, menjadi nyata. Aamiin
Pukul 14.30 saya dan rombongan harus pulang duluan. Saya harus ke Semarang jam 4 sore. Sedangkan perjalanan dengan oper-oper angkot, memakan waktu lama. Setelah pamit pada tuan rumah yang sangat ramah, juga berterima kasih atas sharingnya yang bermanfaat, kami pulang. Eh sebelumnya mengabadikan momen dengan background gunung Telomoyo dan hamparan pohon jagung.
Saatnya pulang. Terima kasih Allah. Terima kasih semuanya. It’s unforgettable moment in my life. Terima kasih atas ilmu, hikmah, pengalaman, dan cerita baru.
Sepanjang perjalanan pulang, saya terdiam sembari mengawasi si bungsu yang tak bisa diam. Sesekali mencuri pandang lewat kaca jendela yang buram. Menjadi pengamat dadakan. Mengamati pemandangan, mengamati orang yang keluar masuk angkot, mengamati pengamen jalanan, mengamati sebuah adegan dari panggung raksasa bernama kehidupan. Semua orang punya kisah, tetapi hanya sedikit yang tergerak untuk menuliskan dan mengabadikannya.
Mesin bus menderum-derum melewati tanjakan Tuntang. Tepat kala si bungsu tidur di atas pangkuan saya. Oh, terbayang saya harus jalan kaki sambil menggendongnya, sambil menanti angkot jurusan Ambarawa, disambung naik angkot jurusan Ngampin, dengan menggendong anak seberat 15 kilogram tanpa seutas selendang. Namun, aku bahagia karena dia tak rewel, karena dia mengerti bahwa ibunya sedang mencari ilmu, karena dia menjadi salah satu diantara sekardus alasanku untuk tetap menulis. Ya, mensyukuri apa yang telah Allah beri, menjaganya baik-baik, dan mengabadikannya menjadi cerita ( jadi ingat celoteh Syamil yang dimuat di Kompas pekan lalu J
Ah, maka menulislah. Sebab tiap anak manusia, punya kisah luar biasa.

Semarang, 26 Januari 2016
Arinda Shafa


Komentar

Arinda Shafa mengatakan…
Horeeee berhasil komen mbak hihi.

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti