Langsung ke konten utama

Cerpen :Jannah Bawaku ke Tempat Terindah



Cerpen ini saya ikutkan event menulis ultah leutikaprio ke-4. nggak  nyangka masuk nominasi 12 besar. saya menuliskan cerita ini dengan leleh air mata sembari  membayangkan betapa tangguhnya  saudara -saudara kita di Palestina.

selamat membaca. semoga menginspirasi :)



Jannah:
Bawaku ke Tempat Terindah

Gaza,
27 Juli 2008
“Apa yang kau pikirkan, nak?”
Tiba-tiba abi menyentuh pundakku. Hampir saja piring
yang tengah kucuci meluncur jatuh. Beruntung piring bermotif bunga-bunga kecil
kesayangan ummi itu masih bisa terselamatkan. Aku membuang napas penuh
kelegaan.
“Tidak, Bi.”
Aku jelas-jelas berbohong. Menyembunyikan debur di
dadaku yang kian bergemuruh. Kantong air mataku telah kerontang hingga tak
mampu lagi menorehkan tangis. Meski begitu, hatiku menjerit. Luluh lantak kala
memutar ulang episode kehidupan yang terekam di benak.
Ya, hari ini tepat setahun yang lalu. Aku menemukan
ummi dengan pakaian koyak di dalam dapur, yang sekejap menjelma puing-puing.
Juga saudara kembarku Aleena yang kondisinya tak jauh mengibakan. Ummi dan
Aleena saling berpegangan tangan, tersenyum dalam syahidnya. Aku tahu, mereka
tengah berpesta di surga. Di antara bidadari-bidadari bermata jeli. Sungguh aku
iri. Mengapa aku tak ditakdirkan ikut serta? Bahkan hari itu menjadi kado
paling memilukan kala usiaku genap 20 tahun.
Itu sebabnya aku membenci tanggal lahirku sendiri.
Berusaha melupakan tanggal 27 dan bulan Juli sebagai hari membahagiakan. Toh
sejak dulu keluarga kami tak pernah merayakan hari jadi. Cukup dengan berdoa
bersama sebagai wujud rasa syukur karena masih diberi kesempatan menghirup
udara dunia. Juga sarana muhasabah atas berkurangnya jatah usia di dunia.
Dan kini aku hanya punya abi, setelah Arkaan—kakakku
tertuaku—tewas di ujung senapan tentara zion, empat bulan lalu. Sosok-sosok
yang kucintai pergi satu per satu. Menyisakan luka menganga seiring dengan
keikhlasan luar biasa yang diteladankan abi padaku. Abi adalah pejuang sejati.
Seorang pemimpin keluarga dan umat yang penuh cinta dan dedikasi. Ialah yang
kupunya setelah Allah. Tempat aku berlindung dari kegalauan dan ketakutan. Yang
mengajariku kelembutan, kedisiplinan dan ketegaran. Yang tak pernah letih
memperjuangkan kebenaran meski dengan taruhan nyawanya sekalipun.
“Aleeya…,” abi memanggilku lirih. Aku menoleh.
Mendapati wajah abi yang teduh. Seraut wajah tampan yang senantiasa basah oleh
sentuhan wudhu.
“Ya, Bi. Makanan telah siap.”
“Abi tahu apa yang kau risaukan.” Abi mengabaikan
kalimatku barusan. “Seseorang tengah berada di benakmu, kan?”
Abi selalu begitu. Penuh teka-teki untuk
menggiringku ke suatu topik.
“Aleeya kangen sama ummi, Arkaan, dan Aleena,”
jujurku sembari memindahkan sup ke dalam mangkuk.
Abi memejamkan matanya sejenak, lalu tersenyum. “Kau
tak perlu risau. Abi sedang membayangkn mereka tengah meminum air dari telaga
firdaus.”
Senyumku rekah.
“Justru yang membuat abi risau adalah engkau.”
Aku tersedak. “Aleeya?” kutunjuk hidungku sendiri.
“Usiamu 21, Nak. Kau sudah cukup dewasa untuk
mendapatkan cinta. Jika kau menemukan pemuda solih, menikahlah dengannya.” Abi
menatapku sejurus setelah beberapa detik sebelumnya menatap bangunan berselimut
debu di balik jendela. Abi selalu memilih kata dengan hati-hati. Aku tertunduk.
Menekuri makananku yang masih separuh. Nirkata.
Benar kata ummi. Seorang abi adalah cinta pertama
bagi anak perempuannya. Cinta yang membuatku yakin bahwa tercukupinya kasih
sayang abi, membuatku tak perlu mencari cinta lain, hingga waktu terindah itu
tiba. Menikah.
Ah, pernikahan. Bukankah itu adalah impian setiap
gadis? Dan impianku kini adalah menemukan suami sebaik abi.
Mungkinkah?
                                                            *
Kamp Jabaliyah, Desember 2008
Malam begitu pekat. Hanya kerlip bintang yang
sesekali terlihat mencorak langit. Angin berhembus pelan. Kurapatkan abayaku
yang berkibar. Saudara-saudaraku di kamp ini sebagian besar telah lelap. Tapi
semenjak beberapa minggu di sini, aku selalu kesulitan memejamkan mata. Bayang
wajah abi melintas-lintas.
“Abi, dimanakah engkau berada?”
Ternyata aku masih punya air mata yang meluruh.
Rasanya baru kemarin aku berbincang dengan abi. Lebur dalam kecandan dan
kebersamaan hingga siratan tanya yang bisa kutangkap dari manik matanya. Siapkah kau menikah, Aleeya?
Rasanya aku ingin menggeleng kuat-kuat sebab aku
ingin membersamai abi. Menyembuhkan luka dan kehilangan itu bersama. Tanpa
sedikitpun terbersit niat untuk membalas dendam pada bangsa kejam itu. Tapi
kini, aku tak bisa lagi menemukan senyum abi. Abi telah menghilang ketika aku
membuka mata di pagi buta itu. Pastilah abi diasingkan ke tempat yang jauh,
dipenjara, atau bahkan kalau ketahuan bahwa ia aktivis hamas, bisa saja abi
dibunuh dengan keji.
Astaghfirullah.
Kubuang jauh-jauh pikiran buruk itu, bersamaan dengan seorang pemuda yang
melintas tak jauh dari hadapanku. Ia berperawakan tinggi, sedikit kurus, dengan
penampilannya yang sangat sederhana. Senyum teduhnya pada anak-anak tersungging
pada wajah dan rahangnya yang kokoh. Ia menunduk ketika mendapatiku yang tengah
menatapnya selama 3 detik.
Alkaf.
Ia teman masa kecilku. Ia sepantar dengan Arkaan.
Itu artinya ia lebih tua 2 tahun dariku. Ia yatim piatu sejak kecil dan kini
sebatang kara. Ayah, ibu dan kelima adiknya tewas kala bom Israel meledakkan
rumah tempat mereka bernaung. Takdir Allah, hanya ia yang selamat dari tragedi
nahas itu. Meski begitu, aku tak pernah melihat amarah dan nestapa melekatinya.
Ia, dengan keikhlasan luar biasa mengurus prosesi pemakaman keluarga yang
dicintainya, tanpa air mata. Dengan ketegaran yang sama sekali tak dibuat-buat.
Aku tak habis pikir, terbuat dari apakah hati pemuda itu?
Lalu beranjak besar, aku mulai paham kalau Alkaf
seorang pejuang sejati. Bersama teman-temannya, ia dengan gagah berani mencegat
tank-tank Israel yang sedang patroli, lalu melemparinya dengan batu. Mereka
seolah tak peduli jika nyawa melayang. Tak jarang, tentara-tentara itu terbakar
amarah dan membalas serangan batu dengan mengacungkan moncong senapan. Menarik
pelatuknya tepat di jantung atau kepala lawannya. Setelahnya mereka terbahak
keras. Sungguh pertarungan yang tak seimbang. Akupun pernah mendapati Alkaf
dengan darah mengalir di lengannya.
“Aku tak apa-apa,”
katanya saat itu. Ia seperti tidak merasakan sakit ketika Arkaan—yang
kala itu masih hidup—memaksanya ke rumah sakit. Abi sampai geleng-geleng
kepala. Aku pikir, dibalik keberanian Alkaf, keras kepalanya melebihi batu yang
setiap saat memenuhi kantong bajunya.
Melihat Alkaf dari kejauhan, aku seperti menemukan
kembali sosok abi dan Arkaan yang hilang. Yang tak lagi ada untuk membimbingku
meniti hari-hari yang berat di negeri Al Aqsa ini. Tapi aku menyadari
sepenuhnya jika anak-anak Palestina dilahirkan untuk berjuang hingga titik
nadir, di tanah sendiri. Tak ada waktu untuk merajut cinta semu, sebab malaikat
kematian begitu dekat. Sedekat urat leher.
Dan kini setelah rumahku hancur, aku kembali
dipertemukan dengan Alkaf di kamp Jabaliyah ini. Aku sering melihatnya aktif
membantu para relawan: mengangkut pasokan bahan makanan, memasak di dapur umum,
menghibur anak-anak yang ditinggal mati orangtuanya, hingga menyuapi para
orangtua. Ketika malam menjelang, aku sering mendapatinya tafakur di atas bukit
kecil. Entah apa yang dilakukannya di sana.
Kekaguman ini menelusup indah dalam keterdiaman.
Alkaf, bilakah engkau menjadi kado terindah bagi hidupku?
                                                            *
Kamp Jabaliyah, Maret 2009
Gaza bergejolak lagi. Aku bisa mencium bau mesiu dan
aroma anyir darah yang tertumpah di bumi ini. Suara ledakan silih berganti
seakan hendak memecahkan gendang telinga. Suara jeritan, teriakan, dan isak
tangis ibu atas kematian bayinya, atau tangisan menyayat seorang anak kecil
menyaksikan sang ayah terbujur kaku di tengah puing berserakan. Semua adegan
itu telah kuhafal di luar kepala karena aku pernah mengalaminya. Aku dan
anak-anak Palestina telah terlatih untuk menyikapi sakitnya kehilangan, dengan
senyuman. Seberapapun kepedihan mendera, semua penduduk langit dan bumi bahagia
menyambut para syuhada.
Allah, akankah
Izrail kan menjemputku malam ini?
Aku meringkuk dalam ketakutan dan kedinginan.
Bibirku biru. Gemetar merapal dzikir dan selaksa doa. Bibi Fatimah memelukku
erat. Mencoba menenangkan hatiku yang bergejolak. Sebuah trauma menghantui.
Mengingatkanku pada kepergian ibu dan saudara-saudaraku dalam suasana yang sama
seperti saat ini.
“Tenanglah. Semua akan baik-baik saja.”
Seseorang mengulurkan segelas susu padaku. Aku
mendongak. Memastikan bahwa aku tak salah lihat. Ia Alkaf. Pemuda yang beberapa
hari ini begitu mengusik rasaku. Simpati dan kekaguman yang berkelindan dalam
palung hatiku. Kupikir ia telah tewas dalam serangan petang tadi.
“Terima kasih, Nak Alkaf.”
Bibi Fatimah mewakiliku bicara. Aku sempat menangkap
senyum tipis yang terlahir dari bibirnya, sebelum ia berlalu dengan langkah-langkah
lebar.
Kuteguk pelan segelas susu itu hingga tandas. Aku
ingat, jika ada rizki lebih abi selalu membelikan kami susu bahkan
membuatkannya untuk kami bertiga. Aku rindu masa-masa itu. Masa yang mengabadi
dalam kenangan terindah.
Saat ini, seseorang mendatangiku lagi untuk yang
kesekian kali. Ia menyerahkan sebuah kotak bercahaya yang ada ditangannya dan
menaruhnya dengan hati-hati di atas telapak tanganku. Aku terpana. Kotak itu
hanya berisi selembar biodata dan foto. Dahiku mengernyit. Kerut-merut. Tak
berkata apa-apa, lelaki dengan wajah dan tubuh bercahaya itu menghilang disapu
halimun.
“Abi! Jangan pergi!”
Tanganku menggapai-gapai sembari mengejarnya tetapi
usahaku sia-sia. Aku duduk bersimpuh dengan air mata meleleh.  “Abiii…”
“Aleeya, bangun! Kamu pasti mimpi buruk lagi!”
Bibi Fatimah menepuk-nepuk pipiku. Aku tergeragap
mendapati wajah bibi yang penuh kekhawatiran. Aku mencari-cari sosok Alkaf yang
mungkin masih berada di kamp malam ini.
Sebab, kotak dalam mimpi itu berisikan tentang
dirinya.
Allah, apakah ini sebuah pertanda?
                                                            *
Gaza, 26 Juli 2009
Aku nyaris tak percaya jika abi telah berpulang kala
Alkaf dengan tenang menyampaikan kabar duka itu padaku sepekan yang lalu. Abi
telah pergi, tanpa kutahu dimana jasadnya dikebumikan. Dan kini aku sebatang kara.
Hanya bibi Fatimah sanak saudara yang kumiliki. Nasibku tak jauh seperti pemuda
yang ternyata diam-diam mengawasi dan menjagaku dari kejauhan. Memastikan bahwa
aku baik-baik saja.
“Aleeya, mimpi itu…” kalimat bibi Fatimah menggantung.
Seakan kelu untuk diucapkan.
“Mimpi itu, menjawab semuanya,” lirihku pilu. Masih
dengan sedu sedan yang tak kuasa kutahan.
“Tersenyumlah.” Bibi mengangkat daguku. “Seseorang
yang ada dalam kotak mimpi itu telah siap menggantikan tugas abi-mu.”
Alkaf?
Hanya perlu waktu sepekan untuk menyempurnakan hari
ini. Hari di mana aku bisa menatap lekat pendar di mata Alkaf usai ijab qabul
terucap. Meresmikan keberadaan kami dalam jalinan mitsaqan ghalidza. Perjanjian suci nan kokoh pada Sang Maha Cinta.
Aku berusaha sejenak mengenyahkan duka. Mengusir
kecewa sebab abi tak diperkenankan-Nya menjadi wali pernikahanku. Mencoba
menyulih semua dengan rona bahagia. Menghadirkan cinta saat kali pertama
telapak tangan kami yang berkeringat, bersentuhan. Hatiku bergemuruh ketika
bibirku mendarat di punggung tangan Alkaf. Ada kecamuk rasa yang menyeruak,
ditingkah buncah bahagia bersanding dengan pemuda bermata elang itu.
Alkaf. Ketika dulu kita sekuat tenaga menjaga
pandang, menjaga hati dan interaksi, kini aku bisa menatap wajah teduhnya
dengan leluasa. Menikmati senyum lesung pipit yang diam-diam kukagumi sejak
dulu. Mendengarkan suaranya yang empuk, yang sangat kontras dengan suaranya
saat menggentarkan musuh.
Dan malam pengantin ini adalah kado terindah, tak
hanya bagiku. Namun bagi kami berdua. Bagi perjuangan anak manusia membangun
peradaban.
Kulihat wajah Alkaf yang lelap. Wajah yang
melukiskan karakternya yang lembut dan penuh kasih, seperti abi dan Arkaan.
Bahagiaku meruah mengingat aku merasa telah menggenapi pesan abi untuk menikah.
Ialah hadiah terindah yang tak terlukis kata. Seumpama keislaman Abu Talhah
sebagai mahar pernikahan bagi Ummu Sulaim. Telah kutemukan Alkaf dalam
istikharah panjangku. Dalam doa-doa yang kutengadahkan dalam isak di penghujung
malam.
“Ya Allah, anugerahi aku suami terbaik yang mampu
membimbingku menggapai cinta-Mu. Pemuda pilihan abi yang kelak menemani
perjuangan panjang di tanah yang menjanjikan kemenangan ini. Jadikan kami
nanti, pasangan di dunia dan di surga. Aamiin.”
                                                            *
Gaza, 26 Juli 2010
Palestine,
Di bumi-Mu syuhada terlahir dari
Kantong-kantong rahim tangguh
Dari embrio kukuh
Menjadi janin perkasa
Syuhada tiada pernah gentar
Meski kebiadaban merongrong
Selekap raga dan nyawa
Entah sampai kapan katasrofa memagut tanahmu?*
Sudah sepekan ini Gaza lumpuh. Serangan pasukan zion
begitu mendadak. Membabi buta. Aku bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri
kekejian mereka. Mereka menghancurkan rumah-rumah penduduk, mengebom sekolah
dan rumah sakit, membunuh pemuda, wanita dan anak-anak dengan popor senapan
tanpa sedikitpun mengenal belas kasihan. Darah para syuhada menguar.
Mengabarkan duka ke segala penjuru langit dan bumi. Namun sejatinya mereka
tersenyum dalam kebahagiaan sempurna.
Aku acapkali iri, mengapa hanya kaum lelaki yang
diberi kesempatan untuk berjihad. Mengangkat senjata dan berperang melawan
kebiadaban. Sedang kaum wanita tetap harus tinggal di rumah menjaga anak-anak.
Namun, ternyata Allah memuliakanku untuk berjihad
malam ini.
Hampir setahun pernikahanku dengan Alkaf, Allah telah
menitipkan jabang bayi dalam rahimku. Kebahagiaanku, begitu pula kebahagiaan Alkaf
dan orang-orang, bahwa sebentar lagi akan lahir jundi kecil penerus perjuangan. Bahwa tinggal menghitung jam, akan
tersemat gelar agung untuk kami: seorang ibu dan ayah. Mungkinkah ini kan
menjadi kado terindah berikutnya?
Alkaf meremas jemariku ketika kontraksi semakin
menghebat. Dibisikkannya doa-doa di telingaku. Wajah yang biasanya tenang dalam
menghadapi tiap pelik permasalahan, kini jelas terlihat cemas.
“Kamu pasti kuat, ummi Aleeya!”
Aku mengangguk untuk kesekian kali. Bibi Fatimah
tersedu di samping ranjangku. Sementara dokter sibuk mempersiapkan alat-alat
persalinan.
“Bayangkan, ummi. Akan lahir anak-anak solih yang
akan memakmurkan bumi!” pekiknya lagi.
Rasa nyeri kian bertambah seiring keringat dingin
yang mengucur deras.
“Inilah jihadmu, Ummi Aleeya. Kau tak perlu iri
denganku.”
“Allahu Akbar!”
Kami memekik takbir bersamaan, berbarengan dengan
suara tangis bayi yang memecah malam. Tiga menit kemudian, disusul tangis bayi
kedua. Ternyata aku melahirkan bayi kembar laki-laki. Suara tangis mereka
menggetarkan, ditingkah desing peluru dan senapan yang bersahutan. Bangsa
Israel selalu ketakutan mendengar lahirnya bayi-bayi Palestina. Sebab kelak
mereka akan jadi pembela yang tangguh. Puluhan bayi dan anak-anak tewas
terbunuh, namun Allah menggantinya dengan kelahiran ratusan bayi.
Subhanallah,
selamat Aleeya.” Bibi Fatimah mengecup keningku. Rasa bahagia tak terlukis kata
ketika Alkaf mengumandangkan adzan dan iqamat di telinga si kembar secara
bergantian. Air mata kami merebak dalam buncah kebahagiaan dan keharuan yang
berkelindan.
“Titip Aleeya dan Hasan Husain ya, Bi. Saya mau
keluar sebentar mencarikan kurma untuk mereka,” pamit Alkaf. Sebelum beranjak, Alkaf
mengecup keningku. Lembut.“Terima kasih, Bidadariku.”
Kutatap punggung Alkaf hingga menghilang dari
pandangan. Sebesit kekhawatiran meretas. Di luar sana keadaan begitu genting.
Semua akan
baik-baik saja
, hiburku pada diri sendiri.
Kupandangi wajah Hasan Husain yang lelap. Mereka
mewarisi wajah tampan Alkaf. Juga ada garis wajah abi. Aku merasa beruntung
sebab hidupku dikelilingi oleh pemimpin-pemimpin hebat: abi, Arkaan, Alkaf, dan
Hasan Husain. Aku ingin mencium pipi mereka yang merah, namun dokter belum
membolehkanku banyak bergerak. Ada pendarahan paska persalinan. Aku kekurangan
darah. Ragaku begitu lemas dan mengantuk.
“Bibi, titip Hasan Husain ya. Aleeya ingin tidur. Sebentar
saja,” pintaku.
“Tidurlah. Bibi akan menjaga anak-anak ini dengan
baik.”
Sebelum kelopak mataku menutup, aku sempat mendengar
suara langkah-langkah kaki yang tergesa, mendekati ranjangku. Aku bisa mencium
wangi darah segar yang merembes mengaliri pelipis Alkaf. Dan kurma-kurma yang
berjatuhan di telapak tanganku. Aku sempat merasakan nyaman berada dalam
pelukannya kala jemari kami saling bertaut. Dan aku sempat mendengar jerit
tangis bibi Fatimah yang menyayat pilu, beberapa detik yang lalu.
Dengan segenap cinta, malaikat membimbing kami
mengucap kalimat syahadat. Lalu, hujan malam itu mengguyur bumi Palestina.
Ada suara yang datang dari arah tiada.
Selamat datang.
Syahid kalian adalah kado terindah dari Ilahi.
Hai jiwa yang
tenang. Kembalilah pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhoi. Masuklah ke dalam
golongan hamba-Ku. Dan masuklah dalam surga-Ku.**

Beri aku kuatmu saat ku lelah
Kuberi akasku saat kau lemah
Beri aku sinarmu saat ku redup
Kuberi hangatku saat kau kuyup

Kita adalah sepasang sayap
Sayap-sayap sakinah
Yang tak pernah lelah
Melangkah bersama menuju jannah.***
                                                                        *
Footnote:
*
Puisi Arinda Shafa, Kupu-Kupu Ungu hal. 68-69
**
Q.S Al Fajr: 27-30
***
Puisi Afifah Afra, Sayap-Sayap Sakinah hal.5





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti