Langsung ke konten utama

Resensi Novel Pasukan Matahari di Buletin Pustaka edisi April 2015




 Reuni, Mimpi, dan Janji Masa Kecil

Judul     : Pasukan Matahari
Penulis : Gol A Gong
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: September, 2014
Jumlah Halaman: 367 halaman


                Demi impian yang ditunggunya selama 29 tahun, Doni bertekad untuk pulang ke kampung halaman. Ia membawa serta istri dan kedua anaknya. Meninggalkan Jakarta. Melepaskan pekerjaan sebagai wartawan yang membesarkan namanya. Ia ingin kembali ke Menes, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Di sana pula, ia tumbuh dan berkembang bersama ketujuh sahabatnya dalam Pasukan Semut. Mereka adalah Doni, Nurdin, wahyu, Yusuf, Nani, Fitri, Irma, dan Iroh.
                Petualangan pasukan Semut begitu berkesan. Mereka adalah anak-anak kampung yang bahagia. Menggantungkan impian setinggi langit, hingga sebuah tragedi menimpa Doni. Doni yang malang jatuh dari pohon. Tangan kirinya patah dan harus diamputasi. Selama beberapa minggu ia harus dirawat di rumah sakit. Di bangsal anak, Doni menemukan teman-teman baru yang senasib sepenanggungan dengannya. Ada Yayat yang kakinya buntung, Ujer yang tangannya buntung sampai ketiak, dan Herman yang tak punya jari. Mereka bersahabat dan menamakan kelompoknya, Pasukan Matahari.
Dan sehari sebelum kepulangan Ujer ke rumahnya, Pasukan Semut dan Pasukan Matahari berkumpul mengelilingi sumur tua. Mereka menyerukan mimpi masing-masing, juga berjanji akan bertemu 29 tahun lagi. Sepanjang usia’perpisahan’ itu, Doni menempa diri untuk belajar bermain badminton dan menulis hingga mengantarkannya menjadi penulis produktif. Pun masing-masing anak berjuang mewujudkan impiannya masing-masing.
29 tahun kemudian, mereka benar-benar menepati janjinya untuk mendaki anak gunung Krakatau, bersama dengan keluarga. Reuni yang diperjuangkan Doni meski ia harus rela kehilangan pekerjaannya. Juga membuktikan pada istrinya bahwa persahabatan sejati itu ada. Semua sahabat Doni telah menggapai mimpi-mimpinya walaupun ada seseorang di antara mereka yang terpuruk. Namun, dengan kesetiakawanan yang mereka pupuk sejak kecil, mereka bahu-membahu menumbuhkan optimisme Nani akan takdir yang menimpanya.
Kami semua melihat ke arah timur. Pulau-pulau terbentang di antara hamparan laut biru. Langit memerah. Fajar pun muncul menyinari kami, memberi kehangatan. Puncak anak gunung Krakatau jadi saksi bisu perjuangan kami. Bagaimana kami bisa bersatu lagi dan mewujudkan sebelas mimpi kami di waktu kecil.(Hal.367)
Novel ini mempunyai kekuatan tersendiri. Setting Banten begitu detil dengan warna budaya lokal yang kental, seolah pembaca diajak berpetualang menyusuri tiap sudutnya.
Dengan bahasa yang lugas, penulis berhasil menyentuh sisi kemanusiaan, mengasah kepekaan hati, dan menajamkan empati terhadap sesama. Kisah sederhana tentang persahabatan yang tak lekang oleh zaman, dituturkan dengan apik. Memberi suntikan motivasi dahsyat dan optimisme yang meluap, bahwa kekurangan tidak lantas membuat seseorang terpuruk. Justru itu adalah cambuk untuk menggali potensi yang tersembunyi. Sebab tak ada kesempurnaan di kolong langit ini. Kekuatan kata, mimpi, doa dan usaha selalu berkorelasi positif deengan pencapaian luar biasa dalam kehidupan ini.
Setitik kekurangan pada novel ini hanya terletak pada karakter fisik dan watak masing-masing tokoh yang kurang tereksplorasi sehingga kurang menghadirkan imajinasi yang utuh terhadap tokoh-tokohnya.
Meski begitu, novel ini adalah bacaan wajib bagi pembaca yang haus akan pencerahan, motivasi, inspirasi, dan hikmah. Selamat membaca!

Biodata resensor
Arinda Shafa, ibu rumah tangga. Telah menulis 4 buku solo dan 90 antologi. Bergiat di komunitas Penulis Ambarawa. Email: arindashafa@yahoo.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti